Salah satu penyebabnya, banjirnya kredit rumah yang diambil oleh masyarakat yang sebenarnya tak punya kemampuan membayar.
Kesalahan ini tentunya tak akan diulangi dengan memberi pinjaman yang terlalu longgar. Lagi pula, hunian yang tak mensyaratkan uang muka, akan memberatkan di cicilan bulanannya.
Berdasarkan simulasi Bank BTN misalnya, rumah dengan harga Rp 300 juta tanpa uang muka yang dicicil 20 tahun, cicilannya bisa mencapai Rp 2,9 juta per bulan.
Ini baru berdasarkan suku bunga 9,99 persen per tahun fix selama 20 tahun.
Masalah lain, kata Ali, anggaplah bank bisa memberi kelonggaran uang muka.
Namun berapa banyak rumah yang tersedia? Per 2019 saja, backlog atau kekurangan rumah mencapai 7,6 juta unit.
"Bukan di aturan masalahnya, tapi pasokan yang harga segitu (terjangkau tanpa DP) ada enggak? Apa cukup supply-nya?" kata Ali.
Lantas, siapa yang bisa membeli rumah?
Perencana keuangan Budi Raharjo menghitung, mereka yang aman membeli rumah saat ini adalah yang penghasilannya Rp 15 juta per bulan.
"Itu kalau ingin seimbang. Misalnya juga memperhitungkan kendaraan, sekolah anak, dan kebutuhan rumah," kata Budi.
Dengan gaji sekitar Rp 15 juta per bulan, hunian yang mampu dibeli yang berkisar antara Rp 400-500 juta. Lokasinya tentu bukan di Jakarta.
Di Tambun Utara, Bekasi, saja, perumahan Darmawangsa Residence Bekasi menjual rumah tipe 36 seharga Rp 321 juta. Padahal jaraknya ke pusat kota Jakarta sudah 40 kilometer.
"Kalau pun di tengah kota bentuknya rusun. Apartemen Rp 400-500 juta di tengah kota bentuknya masih studio, itu pun apartemen kelas bawah," kata Budi.
Kenaikan harga properti yang tinggi tak sebanding dengan kenaikan penghasilan. Jarak antara penghasilan dan kemampuan membeli properti semakin lebar.
Dengan makin sulitnya para pekerja membeli rumah, sewa menjadi opsi yang paling memungkinkan.
"Sewa enggak apa-apa juga. Kita jangan menyamakan kehidupan kita seperti orang tua kita atau generasi sebelumnya. Dan bukan enggak mungkin kita hanya nyewa terus tapi sambil nabung dan suatu saat beli rumah," ujar Budi.
Bersambung...
Pusingnya Cari Rumah (2): Yang Harus Dikorbankan demi Rumah Impian