"Kue iklan yang dilaporkan AC Nielsen itu kira-kira yang bisa mengerat uang cuma 18 sampai 19 persen," ujar Hardijanto.
Perusahaan pun tak segan-segan mengalihkan budget iklannya ke digital.
"Mereka survei berapa banyak konsumennya yang nonton TV, ternyata enggak ada, akhirnya mereka cari pola iklan baru," kata Hardijanto.
Baca juga: Sudah Siapkah Televisi Indonesia Hadapi Disrupsi Digital?
Dengan begitu menariknya tayangan digital, berapa lama industri televisi konvensional bisa bertahan?
Di Indonesia, NET TV mungkin televisi pertama yang terpukul imbas persaingan digital. Target penonton NET TV diyakini tak lagi menonton televisi.
NET terpaksa menutup sejumlah bironya, mengurangi karyawan, dan menghentikan program andalannya.
"Kita kan di era sekarang dengan kompetisi yang berat, tiba-tiba mengadakan restrategi terhadap perusahaan. Jadi kita membuat strategi baru," Chief Operating Officer PT NET Mediatama Indonesia Azuan Syahril kepada Kompas.com, Jumat (9/8/2019).
Hardijanto memperkirakan nantinya hanya lima hingga enam televisi yang bisa bersaing memperebutkan kue iklan yang semakin kecil. Mereka yang tak cukup kreatif menggaet penonton, bakal tutup dengan sendirinya.
"Akan terjadi seleksi alam. Orang yang tidak kreatif, tidak punya dana cukup, tidak punya teknologi, strategi marketing, pasti akan tersingkir," kata Hardijanto.
Televisi yang bertahan, harus beradaptasi dengan permintaan pasar atau industri televisi bakal benar-benar tumbang. Salah satu adaptasi yang dimaksud, menayangkan konten yang mampu meraup penonton masif.
"Misalnya dulu kita enggak tahu film Turki meledak. Mungkin program yang lucu-lucu, menarik. Kuncinya mencari ceruk yang tajam seiring jumlah pemain berkurang," ujar Hardijanto.
Stasiun televisi harus ikut bermain di dunia digital. Mereka bisa menayangkan produk yang spesifik memenuhi selera kelompok tertentu, sembari menayangkan program yang mampu menembus selera masyarakat secara masif. Tentunya, dengan biaya produksi seminim mungkin.
"Di Eropa budget udah dipotong separuh," kata Hardijanto.
Selain itu, perlu ada lembaga pengukur baru selain Nielsen dengan rating dan share-nya.
"Kalau itu semua ada mungkin ada kans televisi bisa tetap eksis dan co-exist dengan digital domain," kata Hardijanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.