Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tradisi Halalbihalal di Indonesia, Berikut Sejarah dan Maknanya

KOMPAS.com - Halalbihalal adalah sebuah tradisi bagi muslim di Indonesia, berupa aktivitas silaturahmi yang identik dengan bermaaf-maafan saat hari raya Idul Fitri.

Tradisi ini biasanya dilakukan di sebuah tempat, seperti rumah atau aula, dan melibatkan sekelompok orang, baik keluarga besar atau lembaga tertentu.

Halalbihalal saat momen Idul Fitri merupakan tradisi khas masyarakat muslim Indonesia dan tidak ditemukan dalam budaya muslim di Arab.

Lantas, bagaimana latar belakang lahirnya tradisi halalbihalal?

Sejarah halalbihalal

Ada beberapa versi mengenai asal-usul tradisi halalbihalal yang dilakukan oleh muslim di Indonesia.

Dilansir dari laman Kemenko PMK RI, istilah halalbihalal berasal dari kata alal behalal dan halal behalal dalam Kamus Jawa-Belanda (1938) karya Dr. Th. Pigeaud.

Dalam kamus ini alal behalal berarti, dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (lebaran, tahun baru Jawa).

Sementara halal behalal berarti, dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).

Asal-usul istilah ini bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari, Solo, sekitar 1935-1936. Mereka mempromosikan dagangannya dengan kalimat ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’.

Sejak saat itu, istilah halal behalal mulai populer di masyarakat Solo. Mereka kemudian menggunakan istilah ini untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari Lebaran atau silaturahmi di hari Lebaran.

Kegiatan halalbihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran.

Dalam versi lain, disebutkan bahwa tradisi halalbihalal kali pertama digagas oleh presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, bersama Kiai Abdul Wahab.

Dikutip dari Kompas.com (6/4/2023), di masa awal kemerdekaan Indonesia pada 1948, kondisi politik Indonesia sedang tidak stabil.

Untuk menurunkan tensi ketegangan politik pada masa itu, Soekarno berdiskusi dengan Kiai Abdul Wahab tentang solusi yang tepat mengatasinya.

Momen tersebut terjadi di bulan Ramadhan, dan Kiai Abdul Wahab menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi cikal bakal lahirnya istilah 'halalbihalal'.

Ia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa. Agar elite politik terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.

Caranya, mereka harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan.

Kiai Abdul Wahab menyebutnya dengan 'Thalabu halal bi thariqin halal', yakni mencari penyelesaian masalah dengan cara memaafkan kesalahan.

Presiden Soekarno kemudian mengumpulkan tokoh-tokoh politik yang bersitegang dalam suatu lokasi pada saat hari Lebaran.

Kemudian, diadakan acara bermaaf-maafan yang diikuti lembaga-lembaga lain dan kemudian dikenal sebagai tradisi halalbihalal.

Makna tradisi halalbihalal

Dilansir dari laman UIN Sunan Gunung Djati, terkait makna dalam istilah halalbihalal, Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999), menjelaskan tiga hal untuk memahaminya, yaitu:

1. Aspek hukum fikih

Halal oleh para ulama dipertentangkan dengan haram, apabila diucapkan dalam konteks halalbihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.

Dengan demikian, halalbihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi.

Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halalbihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.

2. Aspek bahasa atau linguistik

Kata halal dari segi bahasa berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai makna sesuai rangkaian kalimatnya.

Di antaranya adalah menyelesaikan masalah/kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Jika memahami halalbihalal dari tinjauan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali.

Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halalbihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

3. Aspek tinjauan Qur’ani

Quran menuntut halal thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Artinya agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.

Inilah mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan, tetapi juga berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Jadi, makna yang berupaya diwujudkan melalui tradisi halalbihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan dan silaturahmi tetap terjalin dengan baik.

 

(Sumber: Kompas.com/Susanto Jumaidi | Editor: Tri Indriawati)

https://www.kompas.com/tren/read/2024/04/17/093000365/tradisi-halalbihalal-di-indonesia-berikut-sejarah-dan-maknanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke