Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seorang Wanita di AS Tewas Setelah Menginjak Semut Api di Rumahnya

Dikutip dari Washington Post, menurut keterangan keluarga, ia menderita reaksi alergi parah setelah menginjak setumpuk semut api tersebut.

Reaksi tersebut begitu kuat sehingga diduga Weed tidak sempat untuk merangkak mengambil obat atau meminta pertolongan ke orang di sekitarnya.

Hal itulah, yang akhirnya mengantarkannya ke gerbang maut.

Pihak keluarga memilih diam

Hingga Rabu (28/6/2023), penyelidik dari Kantor Pemeriksa Medis Wilayah Gwinnett Chad Jonson mengatakan bahwa penyebab dan cara kematian masih belum dipastikan karena hasil otopsi ditangguhkan.

Sedangkan ibunda Cathy, Phyllis Weed menolak berkomentar setelah putrinya tewas menginjak semut api.

“Tolong hormati privasi kami,” ucapnya.

Keluarga Weed terkejut dengan peristiwa nahas yang menimpa Cathy yang begitu mendadak tersebut.

“Sementara nyawa Cathy diambil terlalu cepat, orang-orang yang mengenalnya mengetahui kualitas hidupnya jauh melebihi kuantitasnya,” ungkap keluarga Cathy.

Kerabat lainnya di media sosial mengatakan, kematian Chaty terasa seperti mimpi buruk yang mengerikan, mengingat kontribusinya yang besar di Lawrenceville.

Semut api beracun

Seorang kerabat keluarga, Kitt Miller menuturkan bahwa satu gigitan semut api bisa memicu reaksi yang cukup fatal pada manusia.

“Satu gigitan semut api sudah cukup membuat syok anafilaksis (reaksi alergi berat dan tiba-tiba),” kata Miller.

Menurut Departemen Pertanian AS, semut api akan menyuntikkan racun menggunakan sengatnya ketika menggigit manusia.

Alergi karena semut api mempunyai gejala seperti gatal dan ruam di area kulit yang tergigit oleh semut.

Kendati kematian akibat gigitan semut api sangat jarang, tetapi hal itu tetap bisa terjadi.

Perusahaan obat yang membuat produk anti-semut api, Bayer, mencatat dalam penelitian tahun 2012 terdapat 10 sampai 15 persen orang yang tergigit semut api dan menderita reaksi alergi yang parah.

Di antara satu sampai dua persennya menunjukkan reaksi berbahaya hingga menuju kematian.

Senada, WHO menyebut syok anafilaksis secara konservatif diperkirakan terjadi pada satu persen kejadian tersengat jenis semut tersebut.

Pernah masuk UGD karena obat kedaluwarsa

Dilansir dari DailyMail, Phyllis Weed memaparkan bahwa Cathy memang memiliki alergi parah terhadap semut api.

Di tahun 2018 bahkan Cathy sempat mengunggah foto wajah bengkaknya akibat reaksi alergi terhadap semut api, dari ruang UGD salah satu rumah sakit.

"Saya sadar memiliki alergi terhadap semut api sejak 3 tahun lalu, itulah sebabnya saya selalu membawa EpiPen kemana pun saya pergi. Sejak tiga tahun lalu, saya sudah memakai EpiPen 6 kali, terakhir di Sabtu lalu," tulisnya ketika itu di dalam narasi foto.

Phyllis mengatakan, kejadian di tahun 2018 itu berakhir di UGD lantaran Cathy menggunakan EpiPen yang ternyata sudah kedaluwarsa.

“Saya dipenuhi gatal-gatal dari kepala sampai kaki, muntah, penuh dengan serangan panik, saya merasakan saluran telinga dan tenggorokan saya bengkak dalam hitungan menit setelah gigitan,” kata Cathy kepada ibunya saat itu.

“Memiliki alergi seperti ini bukanlah lelucon. Ini menakutkan. Itu mengancam jiwa. Dengan setiap gigitan yang saya dapatkan, jika saya tidak memiliki EpiPen di dekat saya, reaksinya menjadi lebih buruk,” sambung Cathy.

Selama ini EpiPen selalu menyelamatkan nyawanya. Itulah sebabnya, keluarga menduga kematian Cathy adalah akibat ia tak sempat berlari untuk menjangkau EpiPen.

Dalam suasana duka, Miller mengingatkan, sebaiknya setiap orang yang memiliki alergi untuk membawa EpiPen sebagai tindakan pencegahan racun jika tergigit semut api.

“Pentingnya memiliki EpiPen setiap saat, memastikan keluarga Anda tahu di mana EpiPen Anda, mengambil tindakan pencegahan tersebut,” pungkas Miller.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/30/070000065/seorang-wanita-di-as-tewas-setelah-menginjak-semut-api-di-rumahnya-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke