Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Polda Sulteng Sebut Kasus Perkosaan Anak 15 Tahun oleh 11 Pria dengan Persetubuhan, Ini Kata Ahli

KOMPAS.com - Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho menyebutkan peristiwa yang menimpa RO (15) sebagai persetubuhaan, bukan pemerkosaan.

Alasannya, tindakan tersebut dilakukan tidak dengan paksa, melainkan bujuk rayu hingga iming-iming dijanjikan nikah.

"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Agus, dikutip dari Kompas TV.

"Tindakan para tersangka dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming, bahkan dijanjikan menikah," sambungnya.

Lantas, bagaimana tanggapan ahli?

Penjelasan ahli

Menanggapi hal itu, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan, Undang-Undang Perlindungan Anak memang menyebutkan persetubuhan, bukan perkosaan.

"Memang disebut persetubuhan, tapi diartikan perkosaan, meskipun si anak setuju," kata Yenti kepada Kompas.com, Kamis (1/6/2023).

Menurutnya, penyebutan persetubuhan ini justru membuat polisi dapat menjerat pelaku, meski tidak disertai dengan kekerasan.

Dengan atau tanpa kekerasan, ia menjelaskan persetubuhan pada anak itu tetap dipidana.

"Yang penting sanksinya. Ini agar bisa menjerat siapapun, mau ada kekerasan atau tidak," jelas dia.

"Bahkan jika dibayar sekali pun, filosofinya adalah melindungi anak dari perbuatan hubungan seksual," sambungnya.

Ia menjelaskan, kasus semacam ini nantinya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan diatur dalam statutory rape.

Dengan demikian, meski persetubuhan itu ada persetujuan, tetapi jika anaknya di bawah umur, maka akan termasuk dalam kejahatan perkosaan.

"Nanti 2026, KUHP baru justru terbalik, mau ada kekerasan atau tidak, disebut perkosaan (rape by statute)," ujarnya.

Sementara itu, ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menuturkan, persetujuan atau consent dalam UU Perlindungan Anak tidak dikenal.

Pasalnya, pola relasi yang tidak seimbang antara korban anak dan pelaku, akan meniadakan sebuah persetujuan.

"Karena pola hubungannya tidak seimbang, karena itu tidak bisa dihindarkan adanya situasi yang menekan," kata Fickar terpisah, Kamis.

"Maka dari itu, dalam UU Perlindungan Anak tidak dikenal consent dan hubungan yang terjadi dikualifikasikan sebagai tindak pidana," lanjutnya.

Fickar menegaskan, kondisi ini sekaligus menggambarkan perlindungan terhadap pihak lemah (anak), dalam pola relasi yang tidak seimbang antara orang dewasa dan anak.

Diberitakan sebelumnya, kasus ini terungkap setelah korban mengeluhkan sakit pada bagian perutnya.

Pihak keluarga kemudian melaporkannya ke Polres Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Dalam kasus ini, pihak kepolisian telah menetapkan 10 orang sebagai tersangka.

Mereka adalah HR 43 yang berstatus sebagai kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS dan AK.

Sementara MKS yang merupakan oknum anggota Polri hingga kini masih belum ditetapkan sebagai tersangka, karena belum cukup bukti.

"Tersangka lainnya berstatus sebagai petani, wiraswasta, mahasiswa, ada juga pengangguran dan semua tersangka saling kenal," kata Agus.

Para pelaku dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/02/103000265/polda-sulteng-sebut-kasus-perkosaan-anak-15-tahun-oleh-11-pria-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke