Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Alasan Bung Karno Berikan Nama "Kompas" 57 Tahun Lalu

Kelahiran Harian Kompas tak bisa dilepaskan dari sosok Bung Karno.

Presiden pertama Republik Indonesia itu yang memberi usulan nama "Kompas".

Berikut ini sejarah Harian Kompas:

Dari Bentara Rakyat ke "Kompas"

Sejarah dimulai pada April 1965.

Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada Drs Frans Seda, Ketua Partai Katolik, agar partainya memiliki sebuah media.

Dalam buku P.K Ojong Hidup Sederhana Berpikir Mulia karya Helen Ishwara, usulah Acham Yani itu hampir saja tak terealisasi.

Membuat media pada saat itu tak semudah saat ini. Sebab diperlukan perizinan ketat dan berlapis.

Frans Seda kemudian menghubungi dua rekan yang berpengalaman menangani media massa, yakni Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama, yang dua tahun sebelumnya mendirikan majalah "Intisari".

Jakob Oetama sebelumnya menjabat sebagai redaktur mingguan "Penabur" dan PK Ojong pemimpin redaksi mingguan "Star Weekly".

Kemudian, dibentuklah sebuah yayasan untuk menerbitkan koran tersebut.

Yayasan itu dinamai Bentara Rakyat, koran yang akan diterbitkan tersebut juga akan diberi nama yang sama.

Nama Bentara, kata Seda, dipilih untuk memenuhi selera orang Flores karena majalah Bentara sangat populer di sana.

Sedangkan imbuhan "Rakyat" dipilih untuk mengimbangi Harian Rakyat yang berhaluan komunis, untuk menunjukkan bahwa rakyat bukan monopoli Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pengurus yayasan terdiri dari I.J. Kasimo (ketua), Drs. Frans Seda (wakil ketua), F.C. Palaunsuka (penulis I), Drs. Jakob Oetama (penulis II), dan Mr. Auwjong Peng Koen (bendahara).

Jakob Oetama dan PK Ojong mendapat otonomi profesional yang penuh sebagai pangasuh sehari-hari koran yang akan lahir itu.

Namun, tidak mudah mendapatkan izin terbit walaupun, kata Seda, "ada restu dari Bung Karno".

Masalahnya, lanjut Seda, aparatur perizinan saat itu "dikuasai" PKI.

Setelah pusat memberikan izin prinsip, mereka harus mengonfirmasikannya ke Daerah Militer V Jaya.

Lalu, ketika semua sudah dapat diatasi, muncul suatu persyaratan terakhir untuk dapat terbit, yakni harus ada bukti bahwa telah memiliki langganan sekurang-kurangnya 3.000 orang.

"Ini benar-benar pukulan terakhir, knock out! Itu sangka mereka. Mereka lupa bahwa masih ada yang dinamakan Flores," kata Seda.

Maka, selanjutnya diberi instruksi ke Pulau Bunga itu kepada semua anggota partai, guru-guru sekolah, dan anggota-anggota Koperasi Kopra Primer di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, Flores Timur, untuk segera mengirim daftar 3.000 pelanggan lengkap dengan alamta dan tanda tangan.

Nama Kompas diberikan Bung Karno

Hingga akhirnya, bagian perizinan Kodam V Jaya menyerah, keluarlah izin terbit.

"Saya menghadap Bung Karno untuk melaporkan bahwa semua sudah siap," kata Seda.

Lalu, Seda bertemu Bung Karno dan ia ditanya mengenai nama korannya.

"Apa nama harianmu itu?," tanya Bung Karno.

"Bentara Rakyat, Bung!," jawab Seda.

Bung Karno hanya tersenyum sembari memandang wajah Seda dan kembali bertanya padanya.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.

Seda pun menjawab, "Baik, Bung. Akan saya bicarakan dulu dengan Redaksi dan Yayasan," jawab Seda.

Akhirnya, redaksi dan yayasan menyetujui usulan Bung Karno tersebut dan nama Bentara Rakyat yang sudah disiapkan, diubah dengan nama Kompas.

Pada 28 Juni 1965, Kompas edisi perdana terbit dengan empat halaman.

Tiras awal Harian Kompas saat itu adalah 4.828 eksemplar dengan harga langganan Rp 500 per bulan.

Medio tahun 1966-1968, krisis kertas membuat Kompas berulang kali terbit dengan jumlah ukuran, jumlah kolom, dan halaman bervariasi.

Dari lebar normal 43 cm, menjadi 30 cm, dengan 5-6 kolom. Pada Maret 1968 terbit hanya dengan dua halaman, dari normal empat halaman.

Pada 20 Januari 1978, Harian Kompas sempat dibredel. Kepala Penerangan Laksusda Jaya Letkol Anas Malik memberitahukan hal itu bersama tujuh media lainnya.

Di antaranya yakni Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore.

Sebulan setelahnya, tepatnya pada 6 Februari 1978, Harian Kompas kembali terbit setelah pembredelan.

Hari ini, setelah melalui perubahan zaman sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi, Harian Kompas memasuki usia 57 tahun. 

https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/28/085639365/alasan-bung-karno-berikan-nama-kompas-57-tahun-lalu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke