Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Flexing? Ramai Disebut di Media Sosial dan Apa Tujuannya?

Dengan adanya media sosial membuat fenomena flexing jadi makin marak. Apabila sebelumnya pamer dianggap tabu, dilarang, dan tidak pantas, tapi kini jadi hal yang umum.

Beberapa hal yang sering dipamerkan seperti saldo ATM, uang yang bertumpuk, pakaian mahal, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mewah lainnya.

Maka belakangan muncul istilah, sultan dan crazy rich.

Tujuan flexing

Melansir Kompas.com, flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.

Menurut pakar bisnis Rhenald Kasali, flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.

Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka akan menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain.

Hal itu bertujuan agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan pembicara.

Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka.

Alih-alih promosi diri malah mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri, tandas Rhenald Kasali.

"Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi masih banyak strategi lain yang "jauh lebih baik" dibanding flexing berlebihan," kata Rhenald.


Flexing: pamer

Sementara itu, psikolog klinis personal Growth Stefany Valentina mengatakan, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer.

Dari sisi psikologis, Stefany menyebut orang pamer bisa jadi karena dua alasan.

Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.

"Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat," kata Stefany saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/2/2022).

Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship.

Ia menuturkan, flexing masih dianggapnormal selama masih dalam batas wajar.

Flexing dan menghargai keberhasilan

Sebab Stefany juga menyebut flexing merupakan salah satu cara untuk menghargai keberhasilan seseorang, tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan secara berlebihan.

"Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak," jelas dia.

"Misalnya habis selesai kuliah terus bisa lulus, terus memamerkan itu kan boleh aja, sebagai salah satu bentuk apresiasi diri juga. Jadi tak melulu dimaknai negatif," tambahnya.

Stefany menjelaskan, selama barang yang dipamerkan adalah milik pribadi dan hasil pencapaian diri, itu merupakan hal yang wajar.

Akan tetapi, apabila flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan dirinya, justru ia tidak akan mengatasi akar masalahnya.

"Jadi kaya cuma menutupi insecurity itu dengan pamer. Lama-lama mungkin orang di sekitar jadi tidak suka dengan dia," ujarnya.


Cuek saat ada yang flexing

Bagi orang lain yang kerap melihat fenomena flexing berle di media sosial, bersikap cuek bisa menjadi pilihan yang tepat.

"Artinya, yang bisa ditiru dalam hal positif, ya tiru. Tapi kalau kurang baik, jangan ikuti. Jangan sampai apa yang dilakukan orang lain, tapi kita yang kena dampaknya," kata dia.

"Kalau itu jadi memotivasi diri kita ya bagus, tapi jangan sampai kita malah membanding-bandingkan diri terus kitanya malah jadi down," tutupnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/15/130000765/apa-itu-flexing-ramai-disebut-di-media-sosial-dan-apa-tujuannya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke