Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenang Munir dan Keabadian Perjuangannya...

Tak banyak orang yang memilih jalan hidup untuk memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) secara lantang, seperti Munir.

Namun, perjuangannya harus berakhir dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Saat itu, Munir dalam perjalanan ke Belanda untuk melanjutkan studinya.

Detik-detik meninggalnya Munir

Pada 6 September 2004, pukul 21.55 WIB, Munir berangkat ke Belanda menggunakan pesawat Garuda penerbangan GA-974.

Sesaat sebelum lepas landas, ia sempat mengirim pesan kepada kawannya, Rachland Nashidik, dan Rusdi Marpaung (Ucok) yang saat itu menjabat Direktur Program Imparsial.

"Lan, Cok, aku berangkat, titip kantor dan anak istriku," tulis Munir.

Dalam perjalanannya, pesawat sempat transit di Bandara Changi, Singapura pada pukul 00.40 waktu Singapura, dan kembali melanjutkan penerbangan pada pukul 01.50.

Harian Kompas, 8 September 2004, memberitakan, Munir sempat terlihat seperti orang sakit setelah beberapa kali ke toilet, setelah pesawat lepas landas dari transitnya di Bandara Changi, Singapura.

Dalam perjalanan menuju Amsterdam, tiba-tiba Munir merasa sakit perut, setelah sebelumnya minum jus jeruk.

Munir sempat mendapat pertolongan dari seorang dokter yang berada dalam pesawat.

Dia kemudian dipindahkan ke sebelah bangku dokter dan mendapat perawatan.

Munir dinyatakan telah meninggal dunia pada pukul 08.10, di ketinggian 4.000 kaki di atas tanah Rumania.

Dua bulan setelah kematiannya, Kepolisian Belanda menemukan fakta bahwa Munir diracun setelah ditemukan adanya senyawa arsenik.

Di bawah rezim Orde Baru yang represif, penculikan para aktivis bukan merupakan hal yang mengejutkan. Bahkan, metode penculikan dijadikan rezim Orba sebagai strategi kotor untuk menghadapi kelompok anti-Orba.

Kasus penculikan 1997-1998, contohnya, ada 24 orang yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Sebanyak 13 orang di antaranya hingga kini masih hilang.

Diberitakan Harian Kompas, 6 September 2013, di tengah kerumitan kasus penculikan itu, Munir hadir bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan tampil berani di depan publik.

Ia secara tegas mendesak agar negara bertanggung jawab atas peristiwa penculikan.

Tak hanya itu, Munir juga pernah melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan mati.

Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM lain yang menjadi perhatian serius Munir. Di antara kasus-kasus tersebut adalah Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei, Semanggi, Talangsari Lampung, Timur Leste, Papua, Aceh, Ambon, Poso dan lainnya.

Perjuangannya itu tentu tidak dilaluinya dengan mulus. Ia seringkali mendapat ancaman dan kekerasan. Bahkan, rumahnya di Batu, Malang pernah dipasangi bom oleh orang tak dikenal.

Budiman Tanuredjo dalam artikelnya berjudul "Perginya Pahlawan Orang Hilang" yang dimuat Harian Kompas, 8 September 2004 mencatat, Munir pernah diancam akan dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan saat membongkar kasus Marsinah.

Kendati demikian, Munir mengaku bukan seorang pemberani. Ia hanya menafsiri segala teror yang dialaminya dengan cara yang berbeda.

"Teror itu tergantung penafsiran kita sendiri," kata Munir.

"Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil menjalankan tugasnya," ujar Munir.

Menolak tawaran kursi parlemen

Ada pelaku yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berusaha untuk menawarkan kursi parlemen kepada Munir.

Syaratnya, Munir tak boleh meributkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orba. Namun, Munir menolak tawaran tersebut secara tegas.

Keyakinan untuk memuliakan kemanusiaan sepertinya telah menghilangkan rasa takut dan nafsu materi dalam dirinya.

Bukan hal sulit bagi Munir untuk menjadi seseorang dengan kekayaan materi.

Akan tetapi, ia lebih memilih hidup sederhana dan berkendara sepeda motor untuk melangkah dan memperjuangkan kemanusiaan.

"Hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan bahasa universal dan setara yang melampaui ras, gender, sekat-sekat etnik atau agama. Itulah jalan di mana kita berada di pintu gerbang untuk berdialog bersama dengan semua orang dari berbagai kelompok sosial dan ideologi." Munir (1965-2004), dikutip dari Harian Kompas, 10 September 2009.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/09/07/121000465/mengenang-munir-dan-keabadian-perjuangannya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke