Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BMKG: Tak Ada Gangguan Anomali Iklim Global pada 2020

Meskipun begitu, awal musim hujan akhir 2019 telah diperkirakan akan lebih mundur dari normalnya dan pada tahun 2018.

"Periode musim hujan (November 2019–Maret 2020) masih sesuai dengan normalnya (klimatologi 1981-2010). Namun, dapat lebih basah dibandingkan tahun 2019, khususnya Sumatera dan Kalimantan bagian utara," kata Kepala Biro Humas BMKG Akhmad Taufan Maulana kepada Kompas.com, Minggu (8/12/2019).

Taufan menjelaskan, puncak musim hujan diprediksi terjadi pada Januari-Februari 2020.

Sementara, awal musim kemarau diprakirakan mirip dengan normalnya, yaitu sekitar April - Mei 2020, dan berlangsung hingga Oktober 2020.

Taufan menuturkan, peluang terjadinya bencana hidrometeorologis (siklon tropis, hujan ekstrem, puting beliung, angin kencang, gelombang ekstrem, dan kekeringan iklim) tetap perlu diwaspadai meskipun diprediksi berkurang jumlah kejadian maupun kekuatannya pada kondisi iklim yang normal.

"Memperhatikan pemutakhiran prediksi saat ini terkait prospek curah hujan yang cenderung normal sesuai klimatologisnya, serta tidak adanya ancaman potensi anomali iklim global, multi pihak mitra kerja BMKG dan juga masyarakat umum secara luas hendaknya dapat memanfaatkan informasi iklim ini untuk perencanaan jangka pendek tahun 2020," ujar dia.

Pemenuhan dan penyimpanan cadangan air pada waduk-waduk, embung-embung, kolam retensi, sistem polder, lanjut Taufan dapat dilakukan lebih dini pada saat puncak musim hujan hingga peralihan musim.

Sehingga, dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan mendesak penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kebutuhan pertanian.

Tidak ada potensi gangguan anomali iklim global pada 2020

Kekeringan yang menyertai musim kemarau tahun 2019 menimbulkan dampak signifikan terhadap ketersediaan kebutuhan air baku, kekeringan lahan pertanian yang berujung gagal panen, kebakaran hutan dan lahan yang diikuti bencana kabut asap.

Taufan menambahkan, kejadian kekeringan parah di Indonesia umumnya dipicu oleh kejadian anomali iklim di Samudera Pasifik berupa El Nino, dan/atau di Samudera Hindia berupa Dipole Mode positif (IOD+).

"Kedua fenomena itu memengaruhi kondisi suhu muka laut sehingga lebih dingin daripada biasanya di perairan Indonesia yang berimbas pada sedikitnya suplay masa uap air di udara dan menghambat aktifitas perawanan disebagian besar wilayah Indonesia," tutur dia.

Sementara itu, hingga akhir Oktober 2019, pemantauan BMKG terhadap anomali iklim global memastikan bahwa episode El Nino lemah 2019 telah berakhir sejak Juli lalu, namun fenomena Dipole Mode positif (IOD+) masih berkembang cukup kuat di Samudra Hindia.

Hal itu berkaitan dengan kondisi suhu muka laut perairan Indonesia yang masih cenderung lebih dingin hingga awal November ini.

Fenomena El Nino merupakan anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik Tengah Ekuator yang lebih panas dari biasanya, disebut La Nina kalau lebih dingin dari biasanya.

Dipole Mode positif (IOD+) menggambarkan anomali suhu permukaan laut di wilayah Samudera Hindia sebelah barat daya Sumatera yang lebih dingin dibanding suhu muka laut perairan timur Afrika, sebaliknya untuk IOD-.

"Prospek tahun 2020, prediksi BMKG menunjukkan kecilnya peluang akan muncul fenomena El Nino maupun La Nina di Samudera Pasifik," kata Taufan.

Sementara untuk Samudera Hindia, tidak terdapat indikasi akan munculnya fenomena IOD+ maupun IOD- yang kuat pada tahun 2020, setidaknya pada Semester pertama.

Taufan menyampaikan, pada awal tahun 2020 kondisi suhu muka laut Perairan Indonesia diprakirakan normal hingga cenderung hangat yang bertahan hingga Juni 2020.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/09/070000565/bmkg--tak-ada-gangguan-anomali-iklim-global-pada-2020

Terkini Lainnya

Kata BWF soal Keputusan Kevin Sanjaya Pensiun dari Bulu Tangkis

Kata BWF soal Keputusan Kevin Sanjaya Pensiun dari Bulu Tangkis

Tren
Seorang Pria yang Diduga Terafiliasi Jemaah Islamiyah Serang Kantor Polisi Malaysia, 2 Petugas Meninggal Dunia

Seorang Pria yang Diduga Terafiliasi Jemaah Islamiyah Serang Kantor Polisi Malaysia, 2 Petugas Meninggal Dunia

Tren
Cara Menaikkan Trombosit bagi Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD)

Cara Menaikkan Trombosit bagi Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD)

Tren
Rawat Lansia, Pria Ini Dapat Warisan 5 Apartemen Bernilai Ratusan Juta

Rawat Lansia, Pria Ini Dapat Warisan 5 Apartemen Bernilai Ratusan Juta

Tren
Uang Palsu Diduga Marak Beredar, Ini Cara Mengeceknya agar Tak Tertipu

Uang Palsu Diduga Marak Beredar, Ini Cara Mengeceknya agar Tak Tertipu

Tren
Setelah Kevin Sanjaya, Ribka Sugiarto Umumkan Mundur dari PBSI

Setelah Kevin Sanjaya, Ribka Sugiarto Umumkan Mundur dari PBSI

Tren
5 Suplemen yang Bisa Berdampak Buruk pada Ginjal

5 Suplemen yang Bisa Berdampak Buruk pada Ginjal

Tren
Shin Tae-yong Panggil 22 Pemain untuk TC, Tidak Ada Nama Elkan Baggott dan Maarten Paes

Shin Tae-yong Panggil 22 Pemain untuk TC, Tidak Ada Nama Elkan Baggott dan Maarten Paes

Tren
Cara Cek Panggilan PPG Dalam Jabatan 2024, Kapan Dibuka?

Cara Cek Panggilan PPG Dalam Jabatan 2024, Kapan Dibuka?

Tren
3 Instansi Disebut Dimintai Uang BPK agar Dapat Opini WTP, Ada Kementan, Waskita, dan Kemenkominfo

3 Instansi Disebut Dimintai Uang BPK agar Dapat Opini WTP, Ada Kementan, Waskita, dan Kemenkominfo

Tren
Bobby Nasution Bakal Maju Pilkada Sumut, Pamannya Bidik Cawalkot Medan

Bobby Nasution Bakal Maju Pilkada Sumut, Pamannya Bidik Cawalkot Medan

Tren
Cara Cek Penerima Bansos PKH dan BPNT 2024, Begini Prosedurnya

Cara Cek Penerima Bansos PKH dan BPNT 2024, Begini Prosedurnya

Tren
Banjir Mahakam Ulu Kaltim Terparah dalam Sejarah, BMKG Ungkap Penyebabnya

Banjir Mahakam Ulu Kaltim Terparah dalam Sejarah, BMKG Ungkap Penyebabnya

Tren
8 Situasi yang Bisa Membuat Kucing Peliharaan Anda Kesal

8 Situasi yang Bisa Membuat Kucing Peliharaan Anda Kesal

Tren
Ilmuwan Temukan Virus Tertua di Dunia, Berusia 50.000 Tahun yang Berasal dari Manusia Purba

Ilmuwan Temukan Virus Tertua di Dunia, Berusia 50.000 Tahun yang Berasal dari Manusia Purba

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke