Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ibu Kota Pindah, Bagaimana Nasib Jakarta?

Rencana pemindahan ini direspons beragam baik dari kalangan politisi maupun pesohor. Lalu bagaimana respons masyarakat?

Respons Warga Jakarta

Lembaga Survei Kedai Kopi melakukan survei untuk mengetahui respons masyarakat. Survei tersebut dilakukan pada tanggal 14-21 Agustus 2019 di 34 provinsi di Indonesia.

Kegiatan ini melibatkan 1.200 responden yang diwawancarai secara tatap muka dengan metode pencuplikan multi stage random sampling, dengan margin of error survei +/- 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini didanai secara swadaya oleh Kedai Kopi.

Hasilnya, sebanyak 39,8 persen responden tidak setuju dengan pemindahan ibu kota. Sedangkan sebanyak 24,6 persen responden memilih untuk tidak beropini.

Khusus untuk responden yang berasal dari DKI Jakarta, Kedai Kopi menyatakan, sebanyak 95,7 persen mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap pemindahan ibu kota.

Adapun sebanyak 48,1 persen responden yang berasal dari Pulau Kalimantan menyatakan setuju dengan rencana tersebut. Senada dengan Kalimantan, sebanyak 68,1 persen responden asal Sulawesi menyetujui pemindahan ibu kota.

Direktur Ekseutif Kedai Kopi, Kunto Wibowo mengatakan, responden yang tidak setuju dengan pemindahan ibu kota berasal dari Jakarta.

Dia mengungkapkan, penduduk DKI Jakarta memang merasakan dampak dari rencana pemindahan ibu kota.

"Tidak mengherankan jika mereka paling banyak yang tidak setuju," ujar Kunto dalam keterangan tertulis, Selasa (27/8/2019).

Menurutnya, reaksi negatif masyarakat Jakarta disebabkan karena belum adanya kejelasan tentang nasib DKI Jakarta setelah statusnya sebagai ibu kota berubah.

Namun, saat pengumuman lokasi ibu kota baru pada Senin (26/7/2019), Presiden Joko Widodo menyatakan, jika Jakarta akan menjadi kota bisnis, keuangan, pusat perdagangan, serta pusat jasa berskala regional serta global.

Pada kesempatan itu, Jokowi juga mengungkapkan, sudah ada anggaran sebesar Rp 571 triliun untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan program urban regeneration.

Menurutnya, pemberian status daerah otonomi khusus kepada Jakarta akan diatur dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah.

"Khusus tidak khusus kan terserah bapak Presiden. Karena kan kenapa diberi khusus, karena keputusan bapak Presiden bersama DPR RI," ujar Akmal.

Skema Tukar Guling di Jakarta

Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan rencana untuk aset pemerintah yang ada di Jakarta. Beberapa aset tersebut meliputi gedung pemerintahan yang berada di pusat Jakarta, seperti di kawasan Medan Merdeka, Thamrin, Sudirman, Kuningan, dan SCBD.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pihaknya akan mengupayakan agar kerja sama pengelolaan aset di Jakarta bisa dipakai untuk membangun ibu kota baru.

Untuk aset pemerintah yang berada di Jakarta, pemerintah mengungkapkan empat skema tukar guling aset di Jakarta untuk tambahan biaya membangun ibu kota baru di Kalimantan.

Skema tukar guling yang ditawarkan antara lain dengan menyewakan gedung perkantoran kepada pihak kedua dengan tarif sesuai kontrak yang ada.

Kemudian dengan kerja sama pembentukan perusahaan atau joint venture. Lalu ketiga, dengan menjual langsung gedung kantor yang dimiliki ke pengembang.

Terakhir, sewa gedung dengan syarat pengembang mau berkontribusi dalam pembangunan ibu kota baru.

Bambang menyebutkan, hasil tukar guling ini diharapkan bisa menambal kebutuhan pembangunan ibu kota baru yang bersumber dari APBN.

Pemindahan ibu kota ini menuai komentar dari berbagai pihak. Menurut Mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan bisa mengurangi permasalahan di Jakarta.

Menurutnya, Jakarta dapat semakin longgar baik dari segi kemacetan maupun kepadatan penduduk.

Namun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pemindahan ibu kota dinilai tidak akan mengurangi kemacetan yang ada di Jakarta.

Anies mengungkapkan, kemacetan yang terjadi di Jakarta lantaran sebagian besar kendaraan di Jakarta berasal dari kendaraan pribadi warga DKI.

Ia menambahkan, kemacetan yang terjadi hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kendaraan pegawai pemerintahan.

"Bisnis tetap di jakarta, keluarga tetap di Jakarta pemerintah itu kontribusi kemacetannya itu sangat kecil sekali," ucap Anies Selasa (27/8/2019).

Untuk itu, meski pusat pemerintah berpindah ke Kalimantan, maka Pemprov DKI berjanji akan memperbaiki dan memperbanyak transportasi umum.

Di lain kesempatan, Anies mengungkapkan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta sekitar 17 juta, sedangkan kendaraan kedinasan sekitar 141.000.

"Kalau pun pemerintah pindah, tidak kemudian mengurai masalah kemacetan, kemudian dihitung PNS menggunakan kendaraan pribadi, maka dalam hitungan kita pegawai pemerintah itu sampai 8 persen sampai 9 persen," kata Anies Senin (29/4/2019).

(Sumber: Kompas.com/Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Ihsanuddin, Ardito Ramadhan, Ryana Aryadita Umasugi, Nursita Sari)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/28/182333365/ibu-kota-pindah-bagaimana-nasib-jakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke