Gubernur Jenderal Van Heutz mendirikan Volkschool karena berpikir sekolah semacam ini lebih terjangkau dan lebih mudah dikelola.
Sebagai percobaan, Van Heutz mengenal De Bruin Prince, asisten residen Ambarawa yang telah mendirikan 100 sekolah di berbagai komunitas.
Baca juga: Pengusul Politik Etis atau Politik Balas Budi
Kurikulumnya mencakup dasar-dasar membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Jawa serta keterampilan praktis seperti membuat pot, membuat keranjang, dan banyak lagi.
Sayangnya, sistem pendidikan yang diterapkan Belanda memiliki kecenderungan diskriminatif.
Salah satu contoh dari kecenderungan diskriminatif ini adalah penyaringan siswa di sekolah.
Diskriminasi ini dibentuk oleh kombinasi biaya sekolah yang tinggi dan preferensi untuk keluarga berdarah biru (darah bangsawan) atau priyayi (pangreh praja atau pegawai pemerintah Belanda).
Akibatnya, hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang lebih tinggi, sehingga masyarakat kelas bawah tidak memiliki pilihan selain menerima kualitas pendidikan rendah.
Orang-orang yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi lebih rendah tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka atau tidak memiliki banyak pilihan selain menggunakan cara-cara ekstrem seperti sekolah asrama.
Baca juga: Trias van Deventer, Politik Balas Budi Belanda
Belanda tidak semata-mata ingin memperkuat pendidikan rakyat Indonesia, tetapi juga berniat melatih birokrat terdidik untuk mengisi pos-pos teknis di pemerintahan kolonial.
Salah satu lembaga yang didirikan pada 1900 untuk melatih masyarakat pribumi calon pekerja di pemerintahan adalah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).
Hal ini memberikan gambaran bahwa pemerintah dan ekonomi Belanda sangat bergantung pada inisiatif pendidikan.
Cara hidup orang Belanda, termasuk segala tabu yang ada di dalamnya, berdampak pada banyaknya pemuda pribumi Indonesia bersekolah di sekolah Belanda.
Referensi: