Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Masuknya Pendidikan dalam Trilogi Van Deventer

Kompas.com - 23/01/2024, 16:06 WIB
Endang Mulyani,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.COM - Trilogi Van Deventer adalah tiga kebijakan Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda.

Penerapan Politik Etis atau Politik Balas Budi dipelopori oleh dua tokoh Belanda, yakni Pieter Brooshooft yang merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis, dan Conrad Theodore van Deventer, seorang ahli hukum.

Politik Etis mulai diterapkan di Hindia Belanda pada 1901, yang mencakup program-program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk jajahan sebagai kewajiban moral pemerintah kolonial Belanda.

Program-progam Politik Etis terangkum dalam Trias Van Deventer atau disebut juga Triologi Van Deventer, diambil dari nama pencetus kebijakan ini, Conrad Theodore van Deventer.

Baca juga: Bagaimana Politik Etis Berakhir di Indonesia?

Adapun Trilogi Van Deventer terdiri dari transmigrasi, irigasi, dan pendidikan.

Ketika aspek dalam Trilogi Van Deventer itu menjadi poin penting yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk membalas budi kepada rakyat Indonesia.

Terdapat beberapa alasan pendidikan dianggap penting hingga masuk kedalam Trilogi Van Deventer. Berikut ini penjelasannya.

Kurangnya perhatian di bidang pendidikan

Sebelum penerapan Politik Etis, masalah pendidikan (edukasi) di Indonesia kurang diperhatikan dan bahkan sengaja diabaikan.

Oleh karena itu, persoalan pendidikan menjadi salah satu topik yang dibahas Van Deventer dalam tulisannya tentang Politik Etis di Majalah De Gids pada 1908.

Ketika Belanda mengadakan pemilihan umum pada 1905, Van Deventer dan teman-temannya terpilih menjadi anggota parlemen, sehingga kemudian mereka memainkan peran penting dalam membentuk kabinet.

D. Fock, seorang anggota Partai Demokrat Liberal, yang ditunjuk sebagai menteri kolonisasi, juga menegaskan bahwa pendidikan pribumi adalah sesuatu yang sangat ingin ia dukung dan bantu kembangkan di daerah jajahan Belanda.

Baca juga: Mengapa Pemerintah Kolonial Belanda Menerapkan Politik Etis?

Politik Etis sebagian besar dilakukan oleh J.H. Abendanon yang kala itu menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda, di ranah pendidikan.

Mudah dikelola

Sistem pendidikan yang lebih luas didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda sejalan dengan prinsip-prinsip Politik Etis.

Volkschool (sekolah desa) sebuah sekolah rendah dengan masa belajar tiga tahun dan vervolgschool (sekolah lanjutan) dengan masa belajar dua tahun, didirikan pada 1903.

Pada tahun-tahun berikutnya, model pendidikan serupa diimplementasikan di kota-kota lain di Belanda, seperti Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat sekolah menengah pertama dan program Algemeene Middelbare School (AMS) setingkat sekolah menengah atas.

Gubernur Jenderal Van Heutz mendirikan Volkschool karena berpikir sekolah semacam ini lebih terjangkau dan lebih mudah dikelola.

Sebagai percobaan, Van Heutz mengenal De Bruin Prince, asisten residen Ambarawa yang telah mendirikan 100 sekolah di berbagai komunitas.

Baca juga: Pengusul Politik Etis atau Politik Balas Budi

Kurikulumnya mencakup dasar-dasar membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Jawa serta keterampilan praktis seperti membuat pot, membuat keranjang, dan banyak lagi.

Kecenderungan diskriminatif

Sayangnya, sistem pendidikan yang diterapkan Belanda memiliki kecenderungan diskriminatif.

Salah satu contoh dari kecenderungan diskriminatif ini  adalah penyaringan siswa di sekolah.

Diskriminasi ini dibentuk oleh kombinasi biaya sekolah yang tinggi dan preferensi untuk keluarga berdarah biru (darah bangsawan) atau priyayi (pangreh praja atau pegawai pemerintah Belanda).

Akibatnya, hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang lebih tinggi, sehingga masyarakat kelas bawah tidak memiliki pilihan selain menerima kualitas pendidikan rendah.

Orang-orang yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi lebih rendah tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka atau tidak memiliki banyak pilihan selain menggunakan cara-cara ekstrem seperti sekolah asrama.

Baca juga: Trias van Deventer, Politik Balas Budi Belanda

Melatih tenaga kerja yang terdidik

Belanda tidak semata-mata ingin memperkuat pendidikan rakyat Indonesia, tetapi juga berniat melatih birokrat terdidik untuk mengisi pos-pos teknis di pemerintahan kolonial.

Salah satu lembaga yang didirikan pada 1900 untuk melatih masyarakat pribumi calon pekerja di pemerintahan adalah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

Hal ini memberikan gambaran bahwa pemerintah dan ekonomi Belanda sangat bergantung pada inisiatif pendidikan.

Cara hidup orang Belanda, termasuk segala tabu yang ada di dalamnya, berdampak pada banyaknya pemuda pribumi Indonesia bersekolah di sekolah Belanda.

 

Referensi:

  • Oktavianuri, D. (2018). Politik Etis Dan Pergerakan Nasional. Pontianak: Derwati Press.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com