Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kongo dalam Bayang-Bayang Kelam Genosida

Kompas.com - 03/01/2024, 16:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Banyak penelitian dan buku tentang kolonisasi Kongo menceritakan tentang kekejaman mutilasi, tetapi jarang yang membahas kejahatan yang secara khusus menimpa perempuan di sana.

Lebih lanjut, Gereja Katolik juga memiliki bagian dalam ekonomi Kongo. Namun, banyak misionaris kembali ke rumah mereka terkejut oleh kekejaman yang dilakukan oleh Raja Leopold dan para bangsawan Eropa kaya. 

George Washington Williams adalah seorang sejarawan berketurunan Afrika dari Amerika.

Dia melakukan wawancara dengan banyak orang Afrika yang menjadi korban supremasi kulit putih di Kongo.

Upaya Williams adalah untuk memanfaatkan suaranya dan posisinya guna membantu mengubah hidup mereka yang terkena dampak diskriminasi.

Disusul dengan mulai banyaknya pembela anti-perbudakan lainnya yang menerbitkan pengalaman dan sumber mereka sendiri tentang genosida Kongo.

Meskipun demikian, pemerintah baru memberikan perhatian pada kasus Kongo setelah 23 tahun pemerintahan Raja Leopold.

Padahal, berdasarkan dokumen sejarah Kongo, diperkirakan hampir 10 juta orang tewas akibat eksploitasi kolonial yang terjadi selama pemerintahan Raja Leopold II dan para pejabatnya.

Kemerdekaan Kongo

Setelah terjadi kekejaman dan pembunuhan massal terhadap 10 juta orang Kongo di bawah pemerintahan Raja Leopold II yang memicu kemarahan internasional, Belgia memutuskan untuk tetap menguasai Kongo dan menjadikannya koloni Belgia sejak 1908 hingga 1960.

Namun, faktanya, sebelum mencapai korban pembunuhan sebanyak itu, rakyat Kongo sebenarnya sudah lama melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Sebagai contoh, pada 1919, pemberontakan meletus di beberapa distrik timur Kongo.

Meskipun pemberontakan tersebut berhasil diredam pada 1923, semangat perlawanan rakyat Kongo tetaplah kuat.

Pada tahun 1920-an, kelompok agama seperti Kimbanguisme dan Misi Negro aktif melawan pengaruh Eropa.

Kerusuhan semakin meningkat selama depresi (1931–1936) dan Perang Dunia II.

Bahkan, ketika perkumpulan politik dilarang, para reformis membentuk klub budaya, seperti Abako pada 1950, yang merupakan perkumpulan Bakongo.

Barulah pada 1958, partai politik nasional pertama di Kongo didirikan yang dinamai Gerakan Nasional Kongo.

Kemudian, pada Januari 1959, kerusuhan meletus di Leopoldville (sekarang Kinshasa) setelah rapat umum yang menyerukan kemerdekaan Kongo.

Pertempuran antara pasukan Belgia dan Kongo terjadi pada akhir tahun itu.

Walaupun sebelumnya menolak memberikan kemerdekaan kepada Kongo, Belgia tiba-tiba menarik diri dan memberikan kemerdekaan kepada Kongo.

Akhirnya, pada 30 Juni 1960, Kongo mendapatkan kemerdekaan sebagai negara republik yang merdeka.

Referensi:

  • Prunier, G. (2008). Africa's world war: Congo, the Rwandan genocide, and the making of a continental catastrophe. Oxford University Press.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com