Di sana, ia berusaha membangun hubungan yang lebih baik antara Kerajaan Perancis dan Florence.
Melalui kemampuan diplomatiknya, Machiavelli berhasil membangun hubungan yang baik dengan Perancis yang pada saat itu adalah kekuatan politik besar di Eropa.
Machiavelli menunjukkan kemampuan negosiasi yang luar biasa demi memastikan bahwa kepentingan Florence tetap terjaga dalam hubungannya dengan negara lain.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Niccolo Machiavelli Lahir
Selain reputasinya sebagai filsuf politik, Machiavelli juga memiliki sisi kreatif dalam penulisan.
Pada 1518, Machiavelli menulis sebuah komedi yang terkenal dengan judul The Mandrake ("La Mandragola" dalam bahasa Italia).
Karya ini adalah sebuah komedi yang menggambarkan kisah-kisah intrik dan permainan kekuasaan dalam masyarakat Italia pada masanya.
Tulisan The Mandrake menyajikan gambaran satir tentang norma-norma sosial dan keinginan manusia dalam mencapai tujuan mereka.
Melalui karyanya ini, Machiavelli menunjukkan bahwa ia tidak hanya memiliki wawasan serius tentang politik, tetapi juga kemampuan untuk menghibur dan merenungkan masyarakat dengan kreatif.
Salah satu cara kita mendapatkan wawasan tentang sisi pribadi Machiavelli adalah melalui surat-suratnya yang masih ada hingga kini.
Machiavelli adalah seorang penulis surat yang sangat produktif dan surat-surat ini mencakup interaksinya dengan berbagai tokoh terkemuka pada zamannya, termasuk teman-teman, kolega, dan pejabat pemerintah.
Dalam surat-surat ini, ia membahas berbagai topik, mulai dari pemikiran politik hingga kehidupan pribadi.
Beberapa suratnya dikirim kepada Francesco Vettori, seorang diplomat Italia yang juga sahabat dekat Machiavelli.
Dalam surat-surat ini, Machiavelli mengungkapkan pemikirannya tentang politik, kekuasaan, dan masyarakat pada umumnya.
Baca juga: Mencari Pemimpin Pragmatis, Pluralis, dan Revisionis
Meskipun terkenal dengan pandangan-pandangannya yang kontroversial dan pragmatis tentang politik dan kekuasaan, Machiavelli juga memiliki dimensi spiritual mendalam.
Pada tahap akhir hidupnya, ketika menghadapi penderitaan fisik yang parah, Machiavelli merenungkan makna kematian, eksistensi manusia, dan pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan spiritual.