Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

"Pacem in Terris"

Kompas.com - 09/08/2023, 12:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terlepas dari isu yang kontroversial, banyak orang mengagumi dan memberi pujian pada film. Saya tidak ingin masuk pada esensi film, karena bukan itu tujuan tulisan ini.

Lagi pula, meskipun termasuk biopik dan inspirasinya berdasarkan buku "American Prometheus", namun saya anggap penggambarannya di film mengunakan perspektif Hollywood.

Dengan kata lain, dari komentar yang saya baca dan melihat trailer-nya, lebih banyak sisi entertainment ditampilkan disana.

Seperti tertulis pada laman Business Insider, pendapat tentang bom atom mampu mengakhiri perang merupakan fiksi belaka. Kenyataannya, pada waktu itu penggunaan bom atom tidak lebih dari spekulasi, yang dilakukan dengan perhitungan tentunya.

Masih di laman yang sama, Oppenheimer tidak pernah secara terang-terangan di hadapan publik, mengungkapkan penyesalannya atas dijatuhkannya bom atom.

Bagi saya, ungkapan tepat untuk bom atom adalah seperti dikatakan Cillian Murphy, yang memerankan Oppenheimer dalam film. Kalimatnya, "Now I am become Death, the destroyer of worlds."

Sepertinya tidak ada adegan yang memperlihatkan Hiroshima maupun Nagasaki setelah jatuhnya bom atom. Bisa jadi bukan itu tujuan Christopher Nolan membuat film.

Lagi pula, Amerika (baca: Hollywood) kan pemenang. Sehingga, seperti ungkapan bahasa Jepang, “Kateba kangun, makereba zokugun” atau dalam bahasa Inggris, “winner-take-all”.

Jika penasaran bagaimana aftermath bom atom, mungkin dapat menonton film “Hiroshima” garapan Sekigawa Hideo yang dirilis tahun 1953.

Film ini saya kira paling mendekati keadaan sebenarnya karena dibuat “hanya” 8 tahun setelah kejadian. Pemain figurannya banyak dari warga Hiroshima saat itu.

Atau jika Anda menyukai man-ga, bisa membaca “Hadashi no Gen (Barefoot Gen)”. Man-ga karya Nakazawa Keiji ini berdasarkan pengalaman pribadinya.

Setelah melihat “Hiroshima”, atau membaca man-ga yang sedikit kontroversial itu, tidak ada satupun alasan untuk membenarkan tindakan yang membahayakan kemanusiaan.

Pun legalitas untuk kegiatan merenggut nyawa banyak orang, meskipun itu dilakukan demi perdamaian.

Berhubungan dengan perdamaian, Gereja Kristen Katolik Jepang menyelenggarakan pekan doa untuk perdamaian, mulai tanggal 6 sampai 15 Agustus mendatang.

Uskup Agung Tokyo, Mgr. Kikuchi Isao dalam surat edarannya menyambut pekan doa menyatakan bahwa jika kita berbicara tentang perdamaian, maka kita harus menentang gerakan yang mengarah pada perang.

Pekan doa ini adalah acara tahunan yang diadakan mulai 1982, satu tahun setelah kunjungan paus ke-263 Santo Yohanes Paulus II di Hiroshima.

Pidato paus pertama yang berkujung ke Jepang pada 25 Februari 1981 mengatakan, perang adalah ulah manusia. Perang mengakibatkan hancurnya hidup manusia.

Sekali lagi paus menegaskan bahwa, perang adalah kematian. Paus menghormati keputusan berani, dan setuju dengan gagasan masyarakat Hiroshima, untuk menjadikan peringatan jatuhnya bom atom pertama sebagai peringatan perdamaian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com