Supaya tercipta keselarasan antara orang kaya dan orang miskin. Di sinilah nilai ibadah qurban kita rasakan.
Terlepas dari kualitasnya, ibadah qurban mengindikasikan perasaan senasib antara orang kaya dan orang miskin, di mana kita saling berbagi satu sama lain.
Adapun ibadah qurban ditinjau dari aspek antropologis, dapat diketahui dari strata kesakralan ibadah qurban dalam kehidupan umat Islam.
Dalam kajian antropologis kita mengenal istilah relegius emotion (emosi keagamaan). Emosi keagamaanlah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bernuansa religi.
Paradigma kontemporer mengarah pada pola hidup dan perilaku keberagamaan secara simbolik merupakan hasil kolaborasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan gaya hidup modern yang serba instan dan sarat nuansa sekuler-memisahkan agama dengan kehidupan dunia.
Perintah dan larangan agama yang tertuang dalam rangkaian syari’at suci dipandang sebagai sebuah teologi (ritual) semata, menutupi kebiasaan harian yang lebih mementingkan produktivitas keduniaan dengan berjejalnya tugas dan kewajiban yang selalu mengejar untuk segera diselesaikan.
Mengelabui komunitas di sekitarnya agar tetap dianggap insan yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta ajaran agamanya, atau supaya tetap dipandang layak hidup dan tinggal di negeri yang berdasarkan “Ketuhanan”.
Bahkan, yang lebih ironis, merasa sangat puas dan terhormat dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk dikurbankan bagi para dhuafa, fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekitarnya, tanpa pernah memahami dengan benar ajaran yang terkandung di dalamnya dan hikmah dari syari’at yang telah dijalankan.
Makna substansial dan keagungan Hari Raya Kurban telah tereduksi. Pembelajaran untuk mensucikan ketauhidan serta pengorbanan tak kenal batas kepada Tuhan nyaris pupus dan wisata ruhiah telah tersubstitusi dengan wisata badaniyah dengan segala atribut kecintaan terhadap dunia secara berlebihan (hubbud-dunya).
Implikasi dari keshalehan sosial yang seharusnya terefleksi dari peristiwa besar tersebut, melalui kecintaan dan kasih sayang antarsesama manusia hanya tampak di permukaan, bersifat sementara, bahkan hanya terjadi pada hari itu saja.
Selebihnya kembali seperti hari biasa: berkompetisi tak kenal etika, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin, para penguasa berlaku dzalim bahkan para kiai dan ulama telah banyak tergoda dengan memperjual-belikan ayat-ayat Allah SWT dengan harga yang sangat rendah demi keuntungan dan kemakmuran pribadinya.
Gambaran tatanan masyarakat yang sangat paradoks dengan jumlah masyarakat Muslim terbesar sejagad.
Momentum Hari Raya Idul Adha merupakan pembelajaran pengorbanan dan ujian keimanan terberat sepanjang sejarah peradaban manusia, yang diperankan oleh Nabi Ibrahim, AS. dan Nabi Ismail, AS. sebagaimana disinyalir dalam firman Allah, SWT, “Sesungguhnya ini merupakan uji coba yang nyata” (QS. Ash-Shafat: 106).
Dalam lanjutan kisah pengorbanan tersebut, atas kekuasaan dan kehendak Allah SWT maka Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan sangat indah, yang dahulu dikorbankan oleh Habil (putra Nabi Adam, AS), sebagaimana firman Allah, SWT, “Kami tebus anaknya itu dengan sembelihan besar (seekor domba)”. (QS. Ash-Shafat :107).
Ketaatan Nabi Ibrahim, AS, serta keikhlasan dan kesabaran Nabi Ismail, AS, dalam menjunjung tinggi perintah Allah SWT mengundang kekaguman para malaikat, yang segera menyerukan kalimat takbir, “Allahu akbar, Allahu akbar”, dan disambut Nabi Ibrahim dengan kalimat tahlil, “Laa ilaha illallahu Allahu akbar”.