Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Konsep Dewa Raja?

Kompas.com - 18/04/2023, 10:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, dikenal konsep dewa raja.

Dewa raja adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan.

Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat ilahiah, secara politik gagasan ini merupakan praktik legitimasi atau pengesahan kekuasaan raja.

Bagaimana konsep dewa raja diterapkan di kerajaan Hindu-Buddha?

Baca juga: Bentuk Pemerintahan di Indonesia Sebelum Masuknya Hindu-Buddha

Asal-usul konsep dewa raja

Agama Hindu yang lahir di India kemudian meluas ke wilayah Asia Tenggara, oleh para sejarawan dianggap sebagai faktor utama munculnya konsep dewa raja.

Dewa raja diadaptasi dari konsep Chakravarti yang berkembang di India.

Dalam agama Hindu, Chakravarti adalah seorang penguasa yang kuat dan kekuasaannya meluas ke seluruh dunia.

Dalam kerajaan Buddha, istilah Chakravarti merujuk pada raja yang mempunyai daulat yang tinggi, perantara antara alam gaib (kedewaan) dan dunia.

Dari situlah, berkembang konsep dewa raja, di mana raja dianggap sebagai wakil dewa di bumi serta memegang otoritas politik tertingi.

Diduga, konsep dewa raja pertama kali muncul di kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.

Setelah itu, konsep ini menyebar di wilayah Asia Tenggara, terutama di Kerajaan Khmer (sekarang Kamboja dan Vietnam) dan kerajaan-kerajaan di Thailand.

Baca juga: Daftar Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

Bagaimana konsep dewa raja diterapkan?

Konsep dewa raja digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara untuk mengukuhkan kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi.

Dalam kepercayaan ini, raja dianggap sebagai titisan dewa dan setelah meninggal roh mereka akan bersemadi dengan para dewa.

Dengan demikian, kedudukan raja pada dasarnya sama dengan dewa. Biasanya acuannya adalah Dewa Wisnu, yang dikenal sebagai dewa pemelihara dan dewa kemakmuran.

Namun, hubungan antara raja dan dewa terikat pada tautan hamba-patron.

Raja tetap harus bakti kepada dewa dengan sembahyang atau ritual. Bakti raja disertai harapan mendapatkan kemakmuran atau kesaktian untuk memimpin negara.

Dalam hal ini, rakyat terletak pada struktur paling bawah, yang memiliki hubungan dengan raja juga dewa.

Baca juga: Kertajaya, Raja Terakhir Kediri yang Mengaku Dewa

Pola ini mengakibatkan rakyat melakukan bakti tidak saja kepada dewa, tetapi juga kepada raja, yang dipercaya sebagai pemilik negara dan rakyat.

Melalui baktinya, rakyat berharap mendapatkan perlindungan keselamatan dari raja dan langsung dari dewa.

Konsep dewa raja membuat raja dihormati, sekaligus disembah sebagai lambang keilahian.

Sabda raja adalah suatu hal yang tidak dapat dibantah, karena membantah perintah raja berarti membantah perintah dewa.

Selain itu, rakyat tidak akan berani menuntut takhta karena bukan keturunan raja atau dewa.

Walaupun kekuasaan raja sangat besar, bukan berarti raja bisa sewenang-wenang karena mereka harus mengikuti etika kepemimpinan yang disebut Hastha Brata.

Hastha Brata adalah delapan sifat dewa (surya brata, bayu brata, indra brata, dhana brata, sasi brata, yama brata, pasa brata, dan agni brata).

Baca juga: Tiga Dewa Tertinggi dalam Agama Hindu

Untuk itu, ketika naik takhta raja harus menjalani suatu upacara yang dikendalikan oleh para pendeta Brahmin.

Dalam upacara ini, raja akan diidentifikasikan dengan dewa-dewa tertentu, terutama tiga dewa utama dalam agama Hindu atau Trimurti, yaitu Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), dan Dewa Siwa (penghancur).

Bukti konsep dewa raja diterapkan di kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dapat ditemukan pada Prasasti Ciaruteun peninggalan Kerajaan Tarumanegara.

Dalam prasasti itu, Raja Purnawarman (395-434) melegitimasi dirinya sebagai manivestasi Dewa Wisnu di dunia.

Oleh sebab itu, rakyat harus tunduk dan patuh kepada perintah Raja Purnawarman, sebagaimana mereka memuja Dewa Wisnu.

Konsep dewa raja terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara hingga masa Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, juga Kerajaan Majapahit.

 

Referensi:

  • Abdullah, Muhlis. (2020). Huru-Hara Majapahit dan Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa. Yogyakarta: Araska.
  • Atmadja, Anantawikrama Tungga dan Nengah Bawa Atmadja. (2019). Sosiologi Korupsi: Kajian Multiperspektif, Inegralistik, dan Pencegahannya. Jakarta: Kencana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com