KOMPAS.com - Revolusi Nasional Indonesia atau Revolusi Kemerdekaan adalah masa setelah Indonesia merdeka pada 1945 hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh pada 1949.
Meskipun sudah merdeka, tetapi perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan masih terus berlanjut.
Sebab, sepanjang masa Revolusi Kemerdekaan berlangsung, masih banyak terjadi pemberontakan dan konflik di Indonesia.
Lalu, apa saja peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan?
Baca juga: Peran Mohammad Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Apabila membahas mengenai Revolusi Kemerdekaan tentunya akan melekat pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Setelah tiga tahun berada di bawah jajahan Jepang sejak 1942 hingga 1945, Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi di depan kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur, No. 56, Jakarta.
Setelah itu, dilakukan pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang sudah dijahit oleh istri Soekarno, yaitu Fatmawati.
Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Soekarno pun terpilih sebagai Presiden Indonesia dengan masa jabatan sejak 1945 hingga 1967, dan Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden Indonesia sejak 1945 hingga 1956.
Baca juga: Sikap Rakyat Indonesia dalam Menanggapi Proklamasi Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia tidak begitu saja lepas dari penjajah.
Belanda masih terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah untuk membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda adalah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirimkan pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah dengan melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Akhir dari Agresi Militer Belanda I adalah disepakatinya perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Belanda pada akhirnya mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi tanggal 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan pada awalnya.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak itu, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayah masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran mulai terjadi antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Pertempuran Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda.
AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda II
Perundingan Linggarjati terjadi akrena Jepang menetapkan status quo pada Indonesia yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda.
Salah satunya ditandai dengan Peristiwa 10 November di Surabaya.
Pemerintah Inggris sebagai penanggung jawab mengundang Indonesia dan Belanda berunding di Hooge Veluwe.
Namun perundingan ini berujung gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura.
Sementara itu, Belanda hanya bersedia mengakui Pulau Jawa dan Madura.
Akhirnya, pada 14 Oktober 1946, perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata.
Kemudian, gencatan senjata dilanjutkan dengan Perundingan Linggarjati yang dilaksanakan pada 11 November 1946.
Perjanjian Linggarjati selesai dilaksanakan pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret 1947.
Salah satu isi dari Perjanjian Linggarjati adalah Belanda bersedia mengakui secara de facto Jawa, Sumatera, dan Madura.
Pada 18 September 1948, Republik Soviet Indonesia diproklamasikan oleh anggota PKI yang ingin membangkang atas kepemimpinan Mohammad Hatta.
Pertempuran pun berlangsung antara pihak TNI dengan PKI. Pertempuran ini dimenangi oleh TNI, sedangkan pemimpin PKI, Musso, berhasil ditangkap dan dibunuh di tempat.
Selanjutnya adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwiryo.
Pemberontakan DI/TII pernah terjadi di lima wilayah, yaitu:
Namun, dari kelima tempat itu, pemberontakan yang terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan adalah pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
Baca juga: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Pelopor Gerakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949.
Terjadinya pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Ketika itu, kemerdekaan Indonesia masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda yang masih ingin berkuasa atas Indonesia, terutama setelah perjanjian Renville ditandantangani pada 1948.
Menurut Kartosuwiryo, perjanjian Renville dipandang tidak melindungi warga Jawa Barat.
Alhasil, Kartosuwiryo memilih mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Untuk mengatasi pemberontakan ini, pemerintah mengirim pasukan Kodam Siliwangi dan melakukan taktik Pagar Betis.
Pada akhirnya, Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh Letnan Suhanda.
Baca juga: Penyebab Pemberontakan DI/TII
Peristiwa yang menjadi akhir dari masa Revolusi Kemerdekaan adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Setelah Belanda terus melakukan serangan militer kepada Indonesia, pada akhirnya upaya diplomasi yang dilakukan untuk mengakhiri peristiwa ini adalah melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
KMB dilaksanakan di Den Haag, Belanda, sejak 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Perundingan pun diketahui berjalan dengan alot dan lamban.
Kendati begitu, pada akhirnya disepakati hasil KMB yang salah satunya adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Indonesia pada Desember 1949.
Penyerahan kedaulatan Indonesia dilaksanakan tanggal 27 Desember 1949 di dua tempat, yaitu Amsterdam dan Jakarta.
Referensi: