Bangunan makam di Jawa memiliki filosofi yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, yakni semakin tinggi suatu tempat maka akan semakin dekat dengan Tuhan.
Baca juga: Kertajaya, Raja Terakhir Kediri yang Mengaku Dewa
Ada beberapa bentuk akulturasi yang terjadi di bidang budaya antara Hindu dan Islam.
Salah satunya adalah tahlilan atau yasinan pada agama Islam. Tradisi ini adalah acara doa bersama untuk leluhur atau keluarga yang sudah meninggal.
Pengaruh Islam juga terjadi dalam agama Hindu yang melakukan upacara atau ritual untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal.
Ada juga ziarah makam yang biasa dilakukan oleh sebagian umat Islam menjelang bulan Ramadhan.
Ziarah makam ini juga dilakukan oleh umat Hindu, seperti Raja Hayam Wuruk yang gemar mendatangi beberapa candi pendharmaan leluhurnya.
Akulturasi budaya Islam dan Hindu juga terjadi dalam bidang penanggalan di era Sultan Agung.
Sultan Agung menginginkan adanya penanggalan baru, sehingga kemudian diciptakan sebuah kalender perpaduan Kalender Saka dan Hijriah.
Permakaman di Indonesia juga mengalamai pengaruh atau akulturasi dengan kebudayaan Hindu dan Islam.
Permakaman Islam di Nusantara biasanya akan dibuatkan jirat atau kijing. Namun, khusus bagi orang penting atau berpengaruh, biasanya akan didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup pada makam.
Adapun makam para raja akan dibuat megah dan lengkap dengan makam keluarga serta pengiringnya.
Biasanya permakaman raja-raja Islam akan ditempatkan di atas bukit yang dibuat dengan berundak-undak.
Hal itu hampir sama dengan konsep bangunan punden berundak era Hindu.
Baca juga: Mengapa Thailand Jadi Negara ASEAN yang Tidak Pernah Dijajah?
Referensi: