KOMPAS.com - Nama Taman Siswa tidak asing didengar selama periode pergerakan nasional.
Sekolah untuk pribumi yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini memiliki sepak terjang luar biasa dalam mewujudkan hak pendidikan bangsa kala penjajahan Belanda.
Di balik perjuangan Taman Siswa, tidak tertinggal peran besar dari organisasi Wanita Taman Siswa.
Wanita Taman Siswa bertugas untuk membantu Taman Siswa, khususnya dalam bidang pendidikan untuk perempuan.
Baca juga: Sejarah Taman Siswa: Pendirian dan Ajarannya
Jumlah perempuan yang datang untuk mengemban ilmu maupun menjadi pamong (guru) terhitung semakin banyak sejak Taman Siswa berdiri pada 1922 di Yogyakarta.
Hal tersebut membuat masalah-masalah terkait dunia perempuan terkuak satu persatu, di antaranya:
Melihat permasalahan tersebut, Taman Siswa terlihat tidak sanggup untuk memfasilitasi ajaran seputar perempuan.
Oleh karena itu, perlu bantuan dari perempuan, sehingga para anggotanya di Taman Siswa dapat diberdayakan.
Baca juga: Awal Mula Pendidikan Perempuan di Indonesia
Alhasil, organisasi Wanita Taman Siswa didirikan menjadi bagian Taman Siswa.
Meski secara badan belum terwujud, tetapi tanggung jawabnya tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Pelopor dan ketua organisasi Wanita Taman Siswa adalah Nyi Sutartinah, yang merupakan istri Ki Hajar Dewantara.
Dalam menjalankan tugas Wanita Taman Siswa, Nyi Sutartinah atau Nyi Hajar Dewantara dibantu oleh para pamong perempuan, yang juga istri dari pamong laki-laki.
Berikut ini beberapa anggota organisasi Wanita Taman Siswa.
Sampai 1928, Wanita Taman Siswa bergerak dengan struktur organisasi yang masih sederhana.
Meski begitu, gerakannya memiliki peran besar dalam memberi pendidikan dan membina akhlak untuk kaum perempuan.
Baca juga: Peran Ki Hajar Dewantara dalam Kemerdekaan Indonesia
Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa adalah pemberlakuan Wilde Schoolen Ordonantie atau Ordonansi (undang-undang) Sekolah Liar oleh pemerintah Belanda.
Isi Undang-Undang Sekolah Liar pada intinya adalah kewajiban seluruh sekolah partikelir (swasta) untuk meminta perizinan kepada pemerintah Belanda.
Namun kenyataannya, proses perizinan begitu dipersulit. Beberapa hal yang harus diajukan perizinannya dalam Undang-Undang Sekolah Liar, di antaranya:
Baca juga: Hoogere Burgerschool (HBS), Sekolah Menengah Umum Hindia Belanda
Undang-Undang Sekolah Liar sebenarnya hanya siasat dari pemerintah kolonial untuk mencegah Taman Siswa berkembang lebih pesat.
Kelicikan pemerintah Belanda ini terendus, karena penerapannya terkesan mendadak, yakni pada 1 Oktober 1932. Padahal, Taman Siswa telah berdiri sejak 3 Juli 1922.
Ordonansi tersebut belum dibahas pada saat Kongres Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara pun memutuskan untuk bersikap tegas dengan melawan pemberlakuan Undang-Undang Sekolah Liar.
Pemerintah Belanda lantas membalas perlawanan tersebut dengan menutup dan menyegel Taman Siswa secara paksa.
Alasannya, Taman Siswa dianggap sebagai sekolah liar yang ilegal karena tidak memiliki izin sesuai ketetapan undang-undang.
Beberapa guru yang nekat mengajar dirumahkan secara paksa, bahkan ada yang sampai ditangkap karena dianggap melawan secara terang-terangan.
Baca juga: Sistem Pendidikan di Era Belanda
Wanita Taman Siswa tentu tidak tinggal diam. Para anggotanya ikut menopang perlawanan dari belakang dengan berbagai cara, antara lain:
Perjuangan melawan penjajah dilakukan dengan sangat gigih. Wanita Taman Siswa selalu memantau dan melakukan berbagai hal demi mempertahankan Taman Siswa tanpa mengenal kata lelah.
Perlawanan untuk memperjuangkan Taman Siswa datang silih berganti, karena juga memperoleh bantuan dari beberapa organisasi pergerakan lainnya.
Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Pemerintah Belanda akhirnya menyerah dan mencabut pemberlakuan Undang-Undang Sekolah Liar pada 1933.
Baca juga: Organisasi-organisasi Pergerakan Nasional
Peristiwa pencabutan Undang-Undang Sekolah Liar begitu penting.
Pasalnya, hal itu menjadi pertama kalinya pemerintah Belanda mencabut produk hukum buatannya yang telah ditetapkan sejak pendudukannya di indonesia pada awal abad ke-17.
Kedudukan Wanita Taman Siswa akhirnya semakin diperkuat sejak 1931, karena telah dibentuk suatu badan yang dinamakan Badan Wanita Taman Siswa.
Selain itu, Wanita Taman Siswa berperan besar sebagai salah satu pelopor pembentukan federasi (gabungan) organisasi perempuan pada 1928.
Federasi tersebut adalah Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), yang kemudian berubah nama menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Wanita Taman Siswa masih melanjutkan cita-cita perjuangan dari para pendahulunya hingga saat ini.
Cabang organisasi Wanita Taman Siswa telah menyebar luas di luar daerah Yogyakarta.
Referensi: