KOMPAS.com - Pakualaman adalah pecahan Kasultanan Yogyakarta yang dibentuk berdasarkan kontrak politik antara pemerintah Britania Raya dengan Pangeran Notokusumo.
Pangeran Notokusumo adalah putra Sultan Hamengkubuwono I dari selirnya yang bernama Raden Ayu Srenggorowati.
Status praja atau Kadipaten Pakualaman mirip dengan Praja Mangkunegaran di Surakarta.
Dengan pembentukan Pakualaman pada 1813, Kesultanan Mataram resmi terpecah menjadi empat kekuasaan.
Sejarah berdirinya Pakualaman berawal pada 1808, ketika Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kebijakan Daendels ternyata mendapatkan tentangan dari Sultan Hamengkubuwono II, yang saat itu bertakhta di Kasultanan Yogyakarta.
Baca juga: Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, Mangkunegara, Apa Bedanya?
Akibat tindakannya itu, Sultan Hamengkubuwono II dilengserkan. Daendels kemudian mengangkat GRM Soerojo sebagai raja baru bergelar Sultan Hamengkubuwono III.
Sedangkan saudara tiri Hamengkubuwono II, Pangeran Notokusumo, yang juga ikut menentang Daendels, ditangkap dan dibawa ke Batavia.
Pada 1811, ketika kekuasaan kolonial Belanda di Pulau Jawa direbut oleh Inggris, Thomas Stamford Raffles dikirim untuk menjabat sebagai Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa.
Untuk mendapatkan dukungan penguasa lokal, Raffles kemudian membebaskan Pangeran Notokusumo dan berjanji akan mengembalikan Hamengkubuwono II ke posisinya sebagai sultan.
Sementara itu, Hamengkubuwono III akan diturunkan kembali statusnya menjadi putra mahkota.
Baca juga: Raja Pakualaman VIII, BRMH Sularso Kunto Suratno
Proposal yang diberikan Inggris itu ternyata diikuti dengan beberapa syarat yang merugikan Keraton Yogyakarta.
Salah satu syarat yang ditolak oleh Sultan Hamengkubuwono II adalah pembubaran prajurit keraton. Akibatnya, sultan berencana untuk menyerang Inggris.
Namun, rencana itu dibocorkan oleh Pangeran Notokusumo kepada Inggris, sehingga meletus pertempuran berdarah pada Juni 1812, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Geger Sepehi.
Hasil dari pertempuran itu Hamengkubuwono II ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sebagai penggantinya, pemerintah Inggris mengembalikan Hamengkubuwono III ke singgasana keraton.
Atas jasanya membantu Inggris, pada 29 Juni 1812 Pangeran Notokusumo dinobatkan sebagai Pangeran Mardiko atau pangeran yang merdeka di dalam Keraton Yogyakarta, dengan gelar Paku Alam I.
Baca juga: Geger Sepehi, Penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh Inggris
Menyusul penobatannya sebagai Pangeran Mardiko, Pangeran Notokusumo menyepakati kontrak politik dengan pemerintah Inggris pada 17 Maret 1813.
Penandatanganan kesepakatan tersebut menandai berdirinya Praja Pakualaman. Beberapa hal penting dalam kontrak tersebut di antaranya.
Dengan berlakuknya kontrak politik ini, Praja Pakualaman resmi menjadi nama monarki terkecil di Jawa Tengah bagian selatan.
Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II
Sebagai swapraja, Kadipaten Pakualaman diberi hak otonom, yakni daerah yang mencakup dalam Kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah Adikarto, di daerah selatan Kulon Progo (Kapenawon, Temon, Wates, Panjatan, Gakur, dan Lendah).
Dengan demikian, statusnya mirip dengan Praja Mangkunegaran di Surakarta.
Praja Pakualaman juga dilengkapi dengan sebuah legiun, tetapi tidak untuk bertempur. Fungsinya hanya sebagai seremonial dan pengawal pejabat kadipaten.
Pada 7 Maret 1822, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi gelar Paku Alam I, Pangeran Adipati.
Sedangkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam II baru diberikan oleh pemerintah kolonial setelah ditandatangani kontrak politik lainnya.
Pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman bersama residen atau Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta.
Baca juga: Mangkunegaran: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Pemerintahan
Status Praja Pakualaman beberapa kali berganti seiring dengan perjalanan waktu, sebagai berikut.
Referensi: