Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sultan Tangkal Alam Bagagar, Raja Terakhir Pagaruyung

Kompas.com - 16/11/2021, 12:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sultan Tangkal Alam Bagagar merupakan raja terakhir dari Kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung sendiri adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatra Barat. 

Sultan Alam Bagagar diangkat sebagai raja Pagaruyung untuk menggantikan kakeknya Sultan Muning Alamsyah, raja Pagaruyung sebelumnya yang wafat pada 1825. 

Pada saat yang bersamaan, Bagagar juga diangkat sebagai Bupati Tanah Datar. 

Baca juga: Perang Padri, Perang Saudara yang Berubah Melawan Belanda

Awal Kehidupan

Sultan Tunggal Alam Bagagar lahir di Pagaruyung, Sumatra Barat pada 1789. 

Ia merupakan cucu dari Sultan Muning Alamsyah, raja Kerajaan Pagaruyung sebelum digantikan oleh Sultan Tunggal Alam Bagagar. 

Sultan Tunggal Alam Bagagar sendiri memiliki empat saudara, laki-laki dan perempuan. 

Mereka adalah Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi, dan Yang Dipertuan Batuhampar. 

Sultan Alam Bagagar dan keempat saudaranya masih memiliki hubungan darah dengan Sultan Muning Alamsyah, raja Kerajaan Pagaruyung. 

Sultan Muning Alamsyah adalah kakek dari Sultan Tunggal Alam Bagagar. 

Saat Sultan Muning Alamsyah sudah tidak lagi memimpin, kedudukannya pun diberikan kepada Sultan Tunggal Alam Bagagar. 

Sultan Tunggal Alam Bagagar menjadi raja terakhir yang memimpin Kerajaan Pagaruyung. 

Baca juga: Biografi Sultan Agung, Penguasa Mataram yang Tangkas dan Cerdas

Perang Padri

Pada tahun 1803, terjadi perselisihan antara Kerajaan Pagaruyung dengan kaum Padri. 

Perselisihan di antara keduanya disebabkan oleh adanya perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dengan kaum Adat. 

Dari perbedaan prinsip tersebut, muncul konflik di antara keduanya yang kemudian memuncak pada tahun 1815. 

perang padriTribunnews.com perang padri

Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung.

Ketika pertempuran sedang terjadi, saat itu Sultan Alam Bagagar masih berusia 15 tahun. 

Untuk menghindari pertempuran, Sultan Alam Bagagar melarikan diri ke Padang dan hidup sebagai rakyat jelata di sana. 

Sultan Alam Bagagar hidup sebagai rakyat biasa di Padang sampai tahun 1821. 

Masih di tahun yang sama, peperangan antara kaum Padri dengan Kerajaan Pagaruyung masih terus berlangsung. 

Dalam perang tersebut, Kerajaan Pagaruyung yang sudah menuju kekalahan pun terdesak dan akhirnya meminta bantuan kepada Belanda. 

Pada tanggal 10 Februari 1821, Bagagar yang masih keturunan dari raja Kerajaan Pagaruyung bersama dengan 19 tokoh adat lainnya menandatangani kesepakatan untuk memberikan Pagayurung dan desa-desa sekitarnya kepada Hindia Belanda. 

Kerajaan Pagaruyung juga berjanji untuk patuh pada pemerintah Hindia Belanda. 

Lewat perjanjian tersebut, kondisi di Pagaruyung pun kian carut marut, karena sebenarnya Sultan Tangkal Alam Bagagar tidak memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian tersebut dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. 

Namun, perjanjian antara Kerajaan Pagaruyung dan Hindia Belanda sudah disepakati. 

Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu Kerajaan Pagaruyung mengusir kaum Padri.

Setelah sebagian besar Tanah Datar dikuasai oleh Hindia Belanda, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat menjadi raja Pagaruyung, menggantikan kakeknya yang sudah wafat tahun 1825. 

Pada saat yang sama, Bagagar juga diangkat sebagai Bupati Tanah Datar di usia 36 tahun. 

Baca juga: Mengapa Perang Padri Berubah Menjadi Perang Kolonial?

Pengasingan

Ketika Sultan Tangkal Alam Bagagar menjabat sebagai raja Pagaruyung, ia sempat diasingkan ke Batavia. 

Awal mula pengasingan Bagagar terjadi ketika tanggal 11 Januari 1833 orang Minangkabau memberontak melawan Belanda. 

Pihak Belanda, terutama Letkol Elout menuduh bahwa Sultan Alam Bagagar terlibat dalam perlawanan tersebut. 

Akibatnya, tanggal 2 Mei 1833, Bagagar ditangkap. Kemudian, pada tanggal 24 Mei 1833 ia diasingkan ke Batavia. 

Sultan Tangkal Alam Bagagar menghabiskan sisa hidupnya di Batavia. 

Ia wafat pada 12 Februari 1849. Jenazah Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian dikebumikan di Pemakaman Mangga Dua. 

Setelah itu, atas izin dari pemerintah Indonesia, kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. 

 

Referensi: 

  • Amran, Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com