Ia pun mulai menangani berbaga tugas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Salah satunya adalah meresmikan divisi lokal pertama, yaitu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam membuka pertemuan cabang lokal dari partai politik nasional.
Pada awal 1946, terdapat rumor yang tersebar di Langkat bahwa Hamzah telah terlihat sedang bersantap bersama perwakilan pemerintah Belanda yang pulang ke Sumatera.
Sejak saat itu mulailah tumbuh benih-benih kerusuhan.
Pada 7 Maret 1946, terjadilah Revolusi Sosial di Langkat. Pada peristiwa ini, Sultan Langkat pun ditangkap, termasuk Hamzah.
Baca juga: Teuku Nyak Arif: Kehidupan, Kiprah, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya
Bersama dengan anggota keraton Langkat lainnya, Hamzah dikirim ke sebuah perkebunan di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.
Sejak penculikan tersebut, diketahui bahwa Hamzah tidak pernah kembali lagi.
Pada 20 Maret 1946 pagi, Hamzah ditemukan tewas bersama 26 tahanan lainnya.
Hamzah bersama jenazah lain disemayamkan secara massal.
Atas jasa-jasanya, Hamzah pun diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keppres RI No. 106/Tahun 1975, pada 3 November 1975.
Karya pertama milik Hamzah berjudul Maboek dan Soenji. Kedua karyanya ini terbit di majalah Timboel pada Maret 1932.
Hamzah juga memiliki karya prosa lirik berjudul Poedjangga Baroe. Prosa lirik ini bertujuan untuk mempromosikan majalah dengan nama yang sama.
Majalah tersebut didirikan oleh Hamzah bersama rekannya Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.