Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Spiritualitas Penanganan Perubahan Iklim

DEMIKIAN kutipan dari terjemahan pidato Severn Suzuki yang berusia 12 tahun di ruang Sidang PBB pada 1992.

Ia hadir dalam Konferensi Lingkungan Hidup PBB yang diselenggarakan di Rio de Janeiro (Brasil), sebagai wakil dari kelompok anak-anak yang membaktikan diri untuk belajar dan mengajar anak-anak lain, tentang isu lingkungan hidup (Environmental’s Children Organization).

Kehadiran dan pidatonya pada waktu itu, membuat Severn Suzuki menjadi fenomenal dan secara khusus memantik spirit kaum muda-mudi untuk berjuang, demi ”harga diri lingkungan hidup” yang diperlakukan dengan tidak adil (fair) dan terkontrol.

Sehingga, efek-efek destruktifnya dialami oleh pelbagai pihak di belahan dunia hingga saat ini.

Ia menutup pidatonya dengan ungkapan yang memiliki spirit kuat, yaitu ”Kamu dinilai dari apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan”.

Ternyata, dalam ungkapan yang berbeda, tapi muatan senada, Sultan Al-Jaber, Presiden Direktur ADNOC mengucapkan hal yang sama dalam Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai:

”Kita adalah apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan. Kita harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengubah kesepakatan ini menjadi tindakan nyata,” (14 Desember 2023).

Persekutuan dan komitmen

Apa yang diungkapkan oleh Severn Suzuki (1992) dan Sultan Al-Jaber (2023) sungguh mengandung spiritualitas mendalam.

Perhatian dan perjuangan terhadap lingkungan hidup mesti berdasar pada persekutuan dan komitmen bersama yang diwujud-nyatakan dalam tindakan konkret.

Spiritualitas peduli lingkungan hidup semakin digaungkan dan dioptimalkan, karena adanya realitas bahwa lingkungan hidup tengah mengalami percepatan krisis. Realitas tersebut dirasakan oleh pelbagai pihak di seluruh belahan dunia.

Pembakaran hutan secara ekstrem meraja lela, produksi limbah naik, efek rumah kaca meningkat, dan akhirnya terjadilah perubahan iklim yang ekstrem. Sementara, kontrol dan perbaikan atas krisis-krisis tersebut tidak digiatkan (diabaikan).

Pada 4 Oktober 2023 lalu, Paus Fransiskus mengeluarkan Seruan Apostolik kepada semua orang yang berkehendak baik atas krisis perubahan iklim, yaitu Laudate Deum.

Seruan ini adalah lanjutan dari Ensiklik Laudato Si’ (2015) yang dirasakan kurang mendapat perhatian global dari seluruh umat manusia atas krisis lingkungan hidup di zaman modern ini.

Di dalamnya, Paus menyinggung betapa keadaan bumi dan lingkungan hidup begitu mengkhawatirkan saat ini.

Krisis demi krisis tengah dihadapi oleh semua manusia di depan mata, seperti krisis percepatan perubahan iklim ekstrem. Krisis ini menimbulkan efek yang buruk bagi proses kehidupan manusia dan organisme di bumi.

Untuk dapat memperbaiki keadaan tersebut, semua orang mesti memperkuat spiritualitas persekutuan yang aktif dan disiplin dalam komitmen ekologis.

Solusi yang paling manjur tidak datang dari perkataan dan usaha diri sendiri saja, melainkan dari kerja sama nyata dalam dimensi kehidupan manusia yang kompleks di berbagai tingkat dalam hal-hal sederhana dan dianggap tidak berfaedah.

Spiritualitas ini mesti didukung oleh sikap pantang menyerah di tengah perubahan peradaban zaman.

Harus dikatakan dengan sejujurnya, tidak semua orang ingin berbuat yang terbaik bagi lingkungan hidup dan bumi. Paham dan tindakan pragmatis masih begitu kuat dan ini adalah tantangan terberat.

Namun, situasi demikian justru menjadi motivasi dan peluang bagi semua orang baik yang tetap mau membuka hati, mata, dan tangan untuk memperbaiki lingkungan.

Perjuangan untuk memulihkan keadaan bumi dan menyatukan komitmen harus berakar pada spiritualitas pantang menyerah dan siap berinovasi.

Spiritualitas ini mesti diperkuat lagi di antara masyarakat Indonesia. Meski ada nada kekecewaan atas hasil COP 28 yang lalu, karena aksi-aksi nyata untuk memperlambat perubahan iklim ekstrem global tidak dipertegas, masyarakat Indonesia diharapkan saling membahu di barisan paling depan.

Siapa saja tentu mengalami efek perubahan iklim yang dimaksudkan, seperti cuaca panas ekstrem; kekeringan; kerusakan komoditas pangan; kegagalan panen; kemunculan penyakit; pelanggaran terhadap kaum disabilitas, anak-anak, perempuan, dan lansia; serta kriminalitas yang melanggar HAM.

Solusi yang terbaik untuk mengatasi perubahan iklim ekstrem dan efek buruknya mesti melibatkan semua pihak.

Pemerintah dan pengelola tata negara tidak boleh angkat tangan. Masyarakat pun tidak boleh apatis.

Semua pihak mesti merumuskan target penanganan yang tepat dan bertindak secara masif. Agar, efek lebih buruk yang dapat mengancam siklus kehidupan tidak terjadi hic et nunc. Sic fiat!

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/07/142233879/spiritualitas-penanganan-perubahan-iklim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke