Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jejak Historis Konflik dan Realitas Pengungsian Rohingya

Mereka rela menghadapi segala risiko untuk melarikan diri, baik melalui laut maupun berjalan kaki, demi menghindari serangan militer.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti isu tersebut dan mengatakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Myanmar kepada orang Rohingya sebagai "contoh klasik pembersihan etnis".

Pada Januari 2020, pengadilan tertinggi PBB memerintahkan pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi anggota komunitas Rohingya dari tindak genosida.

Namun, tentara Myanmar (sebelumnya Burma) bersikeras bahwa mereka sedang melawan militan Rohingya dan membantah menargetkan warga sipil di negaranya.

Pemimpin negara tersebut, Aung San Suu Kyi, yang dulunya dianggap sebagai ikon hak asasi manusia, secara berulang kali telah menolak tuduhan genosida yang terjadi pada orang Rohingya.

Siapa orang Rohingya?

Rohingya merupakan salah satu kelompok etnis minoritas di Myanmar. Pada awal 2017, jumlah masyarakat Rohingya sekitar satu juta orang dan mereka merupakan salah satu kelompok etnis minoritas di Myanmar.

Orang Rohingya merupakan kelompok Muslim terbesar di Myanmar, dengan sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine.

Mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri serta mengklaim sebagai keturunan pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah tersebut selama beberapa generasi.

Namun, pemerintah Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, menolak memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya.

Bahkan, pemerintah Myanmar mengesampingkan orang Rohingya dari sensus tahun 2014 untuk menolak mengakui mereka sebagai suatu kelompok.

Pemerintah Myanmar memandang mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Sejak tahun 1970-an, Rohingya telah bermigrasi dalam jumlah signifikan di seluruh wilayah. Estimasi jumlah mereka sering kali jauh lebih tinggi daripada angka resmi.

Dalam beberapa tahun terakhir, ribuan orang Rohingya mengungsi keluar dari Myanmar untuk menghindari kekerasan komunal atau dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh pasukan keamanan.

Asal-usul Rohingya

Sejarah mencatat bahwa umat Muslim telah tinggal di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Myanmar sejak abad ke-12.

Selama pemerintahan Inggris, lebih dari 100 tahun (1824-1948), banyak pekerja bermigrasi dari India dan Bangladesh ke wilayah yang sekarang disebut Myanmar.

Hal ini terjadi karena Inggris mengelola Myanmar sebagai bagian dari India sehingga migrasi tersebut dianggap sebagai migrasi internal, seperti yang dijelaskan oleh Human Rights Watch (HRW).

Migrasi pekerja ini dianggap negatif oleh sebagian besar penduduk asli.

Setelah kemerdekaan, pemerintah Myanmar juga melihat migrasi yang terjadi selama pemerintahan Inggris tersebut sebagai migrasi ilegal.

Berdasarkan pandangan ini, pemerintah menolak memberikan kewarganegaraan kepada sebagian besar orang Rohingya, sebagaimana dijelaskan dalam laporan HRW tahun 2000.

Hal ini juga memicu pandangan negatif dari sebagian masyarakat Buddha yang menganggap Rohingya sebagai orang Bengali.

Masyarakat Myanmar menolak istilah Rohingya dan menganggapnya sebagai pembentukan baru yang diciptakan untuk kepentingan politik.

Setelah Myanmar meraih kemerdekaan dari pemerintahan Inggris pada 1948, dibuatlah Undang-Undang Kewarganegaraan Bersatu untuk menetapkan siapa saja dari berbagai etnis yang berhak mendapatkan kewarganegaraan.

Namun, menurut laporan tahun 2015 dari International Human Rights Clinic di Yale Law School, etnis Rohingya tidak dimasukkan dalam kategori tersebut.

Walaupun demikian, undang-undang tersebut memberikan kemungkinan bagi mereka yang telah tinggal di Myanmar selama setidaknya dua generasi untuk mengajukan kartu identitas.

Pada awalnya, Rohingya diberikan identifikasi atau bahkan kewarganegaraan berdasarkan ketentuan tersebut.

Beberapa orang Rohingya bahkan menduduki jabatan di parlemen pada saat itu.

Namun, setelah terjadi kudeta militer pada 1962 di Myanmar, situasi berubah secara signifikan bagi Rohingya.

Semua warga negara diwajibkan memiliki kartu registrasi nasional. Akan tetapi, Rohingya hanya diberikan kartu identitas asing yang membatasi pekerjaan dan peluang pendidikan mereka.

Pada 1982, dibuat undang-undang kewarganegaraan baru yang secara efektif membuat Rohingya menjadi tanpa kewarganegaraan.

Di bawah undang-undang ini, Rohingya sekali lagi tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar.

Undang-undang ini menetapkan tiga tingkat kewarganegaraan. Untuk mencapai tingkat dasar (kewarganegaraan terperinci), diperlukan bukti bahwa keluarga orang tersebut telah tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948 dan memiliki kemampuan berbahasa di salah satu bahasa nasional.

Banyak orang Rohingya tidak memiliki dokumen tersebut karena tidak tersedia atau ditolak.

Akibat undang-undang tersebut, hak-hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama, dan mengakses layanan kesehatan telah dan terus dibatasi.

Rohingya tidak diberikan hak pilih. Bahkan, jika orang Rohingya berhasil melewati ujian kewarganegaraan, mereka harus mengidentifikasi diri sebagai "terperinci" alih-alih sebagai Rohingya, dengan batasan untuk tidak masuk ke beberapa profesi, seperti kedokteran atau hukum, atau mencalonkan diri dalam pemilihan.

Mengapa Rohingya meninggalkan rumah mereka?

Pada 25 Agustus 2017, eksodus besar-besaran dimulai di Myanmar setelah militan Rohingya Arsa melancarkan serangan mematikan terhadap lebih dari 30 pos polisi.

Setelah tiba di Bangladesh, para pengungsi Rohingya menyatakan bahwa mereka melarikan diri karena pasukan, yang didukung oleh kelompok massa Buddha setempat, merespons dengan membakar desa-desa mereka dan menyerang serta membunuh warga sipil.

Menurut organisasi kesehatan Médecins Sans Frontières (MSF), setidaknya 6.700 orang Rohingya, termasuk setidaknya 730 anak di bawah usia lima tahun, tewas dalam sebulan setelah kekerasan itu terjadi.

Amnesty International melaporkan bahwa militer Myanmar juga melakukan pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan dan gadis-gadis Rohingya.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa "operasi pembersihan" terhadap militan berakhir pada 5 September, koresponden BBC menemukan bukti bahwa operasi tersebut berlanjut setelah tanggal tersebut.

Lebih dari 288 desa hancur dan sepenuhnya terbakar di negara bagian Rakhine bagian utara setelah Agustus 2017, menurut analisis citra satelit oleh Human Rights Watch.

Banyak daerah di mana desa-desa Rohingya diubah menjadi puing-puing yang masih membara, sedangkan desa-desa etnis Rakhine di sekitarnya tetap utuh.

Human Rights Watch menyatakan bahwa sebagian besar kerusakan terjadi di Kabupaten Maungdaw, antara 25 Agustus dan 25 September 2017, dengan banyak desa hancur setelah 5 September, ketika pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menyatakan bahwa operasi pasukan keamanan telah berakhir.

Bagaimana kondisi Rohingya saat ini?

Jutaan pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh pada 2017 bergabung dengan ratusan ribu Rohingya yang telah melarikan diri dari Myanmar dalam beberapa tahun sebelumnya.

Kutupalong, permukiman pengungsi terbesar di dunia menurut UNHCR, menampung lebih dari 600.000 pengungsi.

Namun, pada Maret 2019, Bangladesh mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menerima Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.

Meskipun telah dicapai kesepakatan untuk kembalinya para pengungsi pada awal 2018, tetapi tak satu pun yang kembali.

Orang Rohingya menyatakan bahwa mereka tidak akan mempertimbangkan untuk kembali ke Myanmar, kecuali jika diberikan jaminan mendapatkan kewarganegaraan.

Hingga saat ini, lebih dari setengah juta orang Rohingya yang masih tinggal di provinsi Rakhine, utara Myanmar.

Oleh karea itu, para penyelidik PBB telah memberikan peringatan tentang risiko serius bahwa tindakan genosida dapat terjadi atau terulang kembali.

Situasi yang menyebabkan pembunuhan, pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok, penyiksaan, pengusiran paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya pada 2017 tetap tidak berubah.

Mereka menyalahkan kurangnya pertanggungjawaban dan kegagalan Myanmar untuk menyelidiki sepenuhnya tuduhan atau menjadikan genosida sebagai kejahatan.

Di samping itu, provinsi Rakhine menjadi lokasi konflik berkelanjutan antara militer dan pemberontak dari kelompok etnis Rakhine yang mayoritas beragama Buddha.

Situasi konflik ini menambah kompleksitas dan risiko pada kondisi yang sudah sulit dihadapi oleh populasi Rohingya di wilayah tersebut.

Hingga saat ini, banyak orang Rohingya yang masih mencari tempat aman untuk dapat menetap.

Salah satu kasus yang sedang ramai adalah kedatangan ribuan orang Rohingya di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia.

Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari konflik dan kekerasan di Myanmar untuk mencari perlindungan dan harapan di negara-negara tetangga.

Pemerintah Malaysia dan Indonesia telah menghadapi tantangan dalam menanggapi kedatangan pengungsi Rohingya.

Meskipun masyarakat internasional menyoroti krisis kemanusiaan yang dihadapi oleh Rohingya, tetapi kebijakan dan pendekatan penerimaan terhadap pengungsi di setiap negara bisa berbeda.

Beberapa negara, termasuk Malaysia dan Indonesia, telah memberikan bantuan kemanusiaan dan tempat penampungan sementara untuk para pengungsi.

Namun, masalah ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan imigrasi, hak asasi manusia, dan tanggung jawab bersama dalam menangani krisis pengungsi di kawasan tersebut.

Komunitas internasional terus memantau dan mendorong kerja sama antarnegara untuk menangani krisis pengungsi Rohingya dengan pendekatan yang berbasis pada hak asasi manusia, keadilan, dan solidaritas regional. 

Referensi:

Mahmood, S. S., Wroe, E., Fuller, A., & Leaning, J. (2017). The Rohingya people of Myanmar: health, human rights, and identity. The Lancet, 389(10081), 1841-1850.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/12/12/140757079/jejak-historis-konflik-dan-realitas-pengungsian-rohingya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke