Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Negara-Negara Arab Tidak Membantu Palestina?

Menyusul serangan rudal kelompok perlawanan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel langsung menyatakan perang dan membombardir Jalur Gaza.

Serangan Israel tidak hanya dijatuhkan di titik yang diperkirakan sebagai markas Hamas, tetapi juga di area pengungsian dan rumah sakit.

Pada 15 November 2023, Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza mengatakan jumlah korban tewas di Jalur Gaza selama 40 hari terakhir mencapai 11.500 orang, termasuk 4.710 anak-anak.

Agresi Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza mendapat kecaman dari banyak negara, termasuk negara-negara Arab.

Namun, kecaman negara-negara Arab dinilai tidak ada artinya tanpa ada aksi yang lebih nyata untuk membantu Palestina.

Lantas, mengapa negara-negara Arab tidak membantu Palestina?

Sebab lembeknya dukungan negara Arab untuk Palestina

Melansir Al Jazeera, Israel percaya bahwa negara-negara Arab saat ini sudah terpecah-belah, sehingga sulit menghasilkan keputusan tegas untuk bertindak membantu Palestina secara memadai.

Pudarnya solidaritas dalam mendukung Palestina tidak lain disebabkan oleh kepentingan politik dan ekonomi negara-negara Arab dengan Amerika Serikat (AS), sekutu utama Israel.

Bahkan per tahun 2020, sebanyak enam negara Arab tercatat telah menormalisasi hubungannya dengan Israel.

Enam negara tersebut adalah Mesir (1979), Yordania (1994), Uni Emirat Arab (2020), Bahrain (2020), Sudan (2020), dan Maroko (2020).

Saat ini, Arab Saudi juga dalam tahap perundingan untuk menormalisasi hubungannya dengan Israel.

Maka tidak mengherankan, ketika perang Hamas-Israel kembali membuncah pada awal Oktober 2023, para pemimpin negara Arab baru merespons setelah publik Arab menegaskan bahwa mereka tidak akan mentoleransi kekejaman Israel terhadap 2,3 juta warga Palestina di Gaza.

Dalam pertemuan Liga Arab di Kairo, Mesir, pada 11 Oktober 2023, menteri luar negeri negara-negara Arab mengutuk pembunuhan dan penargetan warga sipil yang dilakukan dua belah pihak (Israel dan Hamas).

Mereka tidak tegas menyatakan perlunya perdamaian dan keadilan bagi warga sipil Palestina, yang seharusnya tidak menjadi target peperangan.

Dalam pertemuan puncak gabungan Islam-Arab di sela-sela KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 16 Oktober 2023, sejumlah negara seperti Iran, Algeria, dan Lebanon, meminta negara-negara Arab penghasil minyak untuk menerapkan embargo ke Israel.

Ketidakkompakan terlihat kala usulan tersebut ditolak.

Semua negara Arab yang telah menormalisasi hubungannya dengan Israel yakni Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, Maroko, ditambah Arab Saudi, Mauritania, dan Djibouti, menolak usulan embargo minyak sebagai sanksi untuk Israel.

Menteri Investasi Arab Saudi Khalid Al Falih beralasan pihaknya tidak ingin menggunakan sumber daya minyak sebagai alat untuk memengaruhi jalannya perang atau membuat Israel dan Hamas melakukan gencatan senjata.

Menurutnya, konflik harusnya diakhiri dengan diskusi damai, bukannya mengecam atau embargo minyak.

Setelah pengeboman Rumah Sakit Al-Ahli pada 17 Oktober yang menewaskan 470 orang Palestina, para pemimpin negara Arab baru bereaksi dengan lebih tegas.

Para menteri luar negeri negara-negara Arab akhirnya melobi anggota-anggota PBB untuk mengesahkan resolusi yang mengutuk serangan 7 Oktober dan kekejaman Israel, serta menyerukan gencatan senjata yang segera, berkelanjutan, dan mengarah pada penghentian permusuhan.

Resolusi itu diabaikan oleh Israel, yang justru melanjutkan serangan dan memutus telekomunikasi di Jalur Gaza selama 36 jam.

Apabila menengok ke belakang, dukungan negara-negara Arab untuk perjuangan Palestina memang terus berkurang.

Pada masa lalu, negara-negara Arab pernah berjuang bersama rakyat Palestina untuk menentang zionisme.

Berdirinya negara Israel pada 1948 tidak hanya membuat negara-negara Arab marah. Mereka pernah bersatu dalam perang melawan Israel.

Isu pembebasan Palestina pun selalu dijunjung dalam setiap kesempatan, tetapi akhirnya memudar. Dunia Arab berubah seiring ketergantungan mereka terhadap Amerika Serikat.

Hal itu dimulai dengan keputusan Presiden Mesir Anwar Sadat untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979.

Tiga tahun kemudian, tidak ada yang mencoba menghentikan invasi Israel ke Lebanon, yang mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari negara tersebut dan membuka jalan bagi kemunculan kelompok perjuangan Hizbullah di Lebanon pada 1982 dan Hamas di Palestina pada 1987.

Sejak itu hingga kini, rezim-rezim yang berkuasa di Arab terlihat semakin enggan untuk bersatu dan menyokong perjuangan Palestina.

Terlebih, banyak ketidakstabilan di dunia Arab akibat peperangan lain, termasuk di antaranya konflik Irak-Iran, invasi Irak ke Kuwait, Perang Teluk yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS), serta berbagai perang saudara setelah peristiwa Arab Spring (2011).

Sebenarnya, para pemimpin negara Arab umumnya tidak suka dengan Israel, tetapi mereka juga acuh tak acuh terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Kurangnya persatuan dunia Arab membuka jalan bagi para kekuatan regional seperti Iran dan Turki, untuk memperluas pengaruh mereka sendiri, yang semakin mengancam keutuhan negara Arab.

Pengaruh Iran yang semakin besar dan kebijakan-kebijakannya yang kontroversial di sejumlah negara Arab mendorong sejumlah rezim untuk mencari sokongan yang lebih besar dari Amerika Serikat.

Sebagai bayarannya, mereka harus menormalisasi hubungannya dengan Israel, sekutu dekat AS.

Itulah mengapa, sejumlah pihak di Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, justru menyalahkan Hamas yang didukung oleh Iran, sebagai pihak yang mendatangkan penderitaan bagi rakyat Palestina.

Meski publik Arab tetap gencar menyatakan dukungannya kepada rakyat Palestina, advokasi bagi perjuangan Palestina semakin sempit.

Ketidaksepakatan di antara negara-negara Arab dalam hal konflik Israel-Palestina semata-mata agar kepentingan politik dan ekonomi mereka bersama AS tetap langgeng.

Kendati kecaman atas kekejaman Israel terhadap warga sipil Palestina telah dilayangkan, negara-negara Arab secara blak-blakan menolak menerima pengungsi dari Palestina.

Mesir, satu-satunya negara Arab yang berbagi perbatasan dengan Jalur Gaza, dan Yordania, yang terletak di sebelah Tepi Barat, telah memperingatkan agar warga Palestina tidak dipaksa meninggalkan tanah mereka.

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan bahwa penting bagi rakyat Palestina untuk tetap teguh dan berdiri di tanah mereka.

Apabila diizinkan mengungsi ke Mesir dan para militan melancarkan serangan dari Sinai, perjanjian damai antara Mesir dan Israel yang sudah berjalan selama 40 tahun bisa hancur.

Senada dengan Raja Abdullah dari Yordania, yang menyerukan untuk mencegah meluasnya krisis Israel-Palestina ke negara-negara tetangga dan memperburuk masalah dengan pengungsi.

Singkatnya, negara-negara Arab tidak menerima pengungsi dari Palestina.

Namun, mereka melakukan berbagai cara untuk mencegah agar warga Palestina tidak diusir lagi oleh Israel dari tanah mereka sendiri.

Negara-negara Arab juga curiga bahwa Israel mungkin menggunakan kesempatan itu untuk mengusir rakyat Palestina dari tanahnya untuk selamanya.

Perang antara Hamas dan Israel dapat berlangsung selama bertahun-tahun.

Apabila rakyat Palestina mengungsi ke negara lain, pasti akan sulit bagi mereka untuk kembali karena Israel diyakini tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Di saat yang sama, sejumlah pihak menilai keputusan negara-negara Arab tersebut tidak tepat.

Dengan menolak membuka pintu bagi warga Palestina yang membutuhkan perlindungan, mereka tidak ada bedanya dari Hamas dan Israel itu sendiri.

Dihimpun dari berbagai sumber, beberapa sebab negara-negara Arab tidak membantu Palestina adalah perpecahan di dunia Arab, pudarnya solidaritas kawasan akibat kepentingan pribadi negara, hilangnya martabat negara-negara Arab, dan pengabaian terhadap hak asasi manusia.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/11/18/150000879/kenapa-negara-negara-arab-tidak-membantu-palestina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke