Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Degung, Gamelan Khas Sunda

Istilah Degung berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan "agung" (megah) atau "pangagung" (bangsawan).

Dilihat dari asal katanya tersebut, yang dimaksud gamelan Degung adalah kesenian yang ditujukan bagi kemegahan atau keagungan martabat bangsawan.

Salah seorang nayaga Degung Parahyangan bernama E Sutisna menyatakan bahwa pada awalnya gamelan degung memang hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati) dan digunakan sebagai hiburan serta media penyambutan tamu di keraton atau pendopo kabupaten.

Berikut ini sejarah singkat gamelan Degung Sunda.

Muncul pada abad ke-18

Istilah Degung pertama kali muncul pada 1879 dalam kamus susunan HJ Oosting.

Kata Degung yang ditulis De Gong mengandung pengertian penclon-penclon (tonjolan di alat musik bonang) yang digantung.

Gamelan Degung diperkirakan berkembang pada akhir abad ke-18.

Dengan latar belakang sejarah kerajaan-kerajaan Sunda yang terletak di hulu sungai, hal itu membawa pengaruh sendiri terhadap kesenian Degung.

Misalnya lagu-lagunya banyak diwarnai kondisi sungai, seperti lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango.

Kendati demikian, dari mana asal alat musik gamelan Degung tidak dapat dipastikan karena kurangnya sumber sejarah akan hal ini.

Ada pula yang berpendapat bahwa gamelan Sunda Degung lahir di lingkuran pendopo Kabupaten Cianjur.

Pada masa Bupati Cianjur RAA Haji Muharam Wiranatakusumah V (1912-1920), sajian gamelan Degung hanya berupan instrumental, tanpa adanya vokal karena dianggap kurang serius.

Pada 1920, RAA Wiranatakusumah V pindah menjadi Bupati Bandung.

Gamelan Degung yang diberi nama Pamagersari beserta penabuhnya pun ikut pindah ke Bandung.

Pada awalnya, instrumen atau waditra gamelan Degung terdiri dari bonang dengan sembilan penclon, jenglong enam penclon, dan satu gong besar.

Ketika RAA Wiranatakusumah V menjadi Bupati Bandung, instrumen Degung bertambah di mana jumlah penclon bonang menjadi 13, terdapat 11 wilah saron penerus, jenglong, dan gong.

Penabuh atau wiyaga gamelan Degung yang tersohor di era ini di antaranya Abah Dira, Abah Muhadi, Abah Emad, Abah Asmadi, Abah Darma, dan masih banyak lainnya.

Pada masa-masa selanjutnya, regenerasi dan pelestarian Degung berjalan baik.

Gamelan Degung, yang awalnya dimiliki oleh para bupati dan digunakan sebagai hiburan serta media penyambutan tamu di keraton atau pendopo kabupaten, juga mengalami pergeseran.

Degung menyebar di masyarakat setelah seorang saudagar dari Bandung keturunan Palembang meminta izin kepada bupati untuk mementaskan gamelan Degung di acara hajatan umum karena keindahan lagunya.

Sejak itu, Degung menyebar ke seluruh Jawa Barat dan menjadi kesenian milik seluruh masyarakat Sunda, bukan hanya milik keraton.

Pada perkembangannya, instrumen Degung juga bertambah, salah satunya adanya penambahan alat musik suling.

Referensi:

  • Hadliansah, Dadang Hermawan dan Juwita. (2019). Degung Kawih Wanda Anyar: Alternatif Model dan Materi Pembelajaran Seni Tradisional Sunda. Tasikmalaya: Edu Piblisher.
  • Sugiharto, R Toto, dkk. (2016). Ensiklopedia Seni dan Budaya: Alat Musik Tradisional. Bandung: Media Makalangan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/31/200000479/sejarah-degung-gamelan-khas-sunda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke