Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Kerajaan Mataram Islam Dibagi Dua dalam Perjanjian Giyanti?

Perjanjian tersebut ditandatangani di Desa Giyanti, Karanganyar, Jawa Tengah.

Salah satu isi perjanjian Giyanti adalah pecahnya wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Lantas, mengapa Kerajaan Mataram Islam dibagi dua wilayah berdasarkan Perjanjian Giyanti?

Adanya konflik internal kerajaan

Alasan Kerajaan Mataram Islam dibagi dua dalam perjanjian Giyanti adalah karena terjadinya konflik internal kerajaan.

Konflik internal yang terjadi dalam Kerajaan Mataram Islam melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Konflik yang terjadi berkaitan dengan diangkatnya pewaris takhta Kerajaan Mataram Islam yaitu Pangeran Probosuyoso yang bergelar Pakubuwana II, anak kedua dari Amangkurat IV.

Namun, Raden Said yang merupakan anak dari putra sulung Amangkurat IV, Pangeran Arya Mangkunegara, meminta haknya sebagai pewaris takhta Kerajaan Mataram Islam.

Selain itu, konflik juga dipicu oleh adanya keputusan Pakubuwana II yang ingin memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Alasan pemindahan ini dilakukan karena Keraton Kartasura terlah hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742.

Ketegangan pun semakin meruncing setelah Raden Mas Said berencana merebut takhta kerajaan dari pamannya, Pakubuwana II.

Raden Mas Said kemudian bekerja sama dengan Pangeran Mangkubumi untuk melancarkan rencananya tersebut.

Pakubuwana II yang terus tertimpa berbagai persoalan, baik dari internal atau eksternal kerajaan, membuat kesehatannya kian lama kian melemah.

Setelah Pakubuwana II meninggal dunia pada 20 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi langsung memanfaatkan kekosongan pemerintahan dengan mengangkat diri sebagai raja baru Mataram Islam.

Hal ini kemudian ditentang oleh VOC, karena sebelum Pakubuwana II wafat, dia memberikan wewenang pengangkatan raja kepada VOC.

Situasi pun kian memanas setelah VOC memutuskan mengangkat putra dari Pakubuwana II, yaitu Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III.

Alhasil, Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang tidak setuju dengan keputusan itu, memutuskan kembali melakukan serangan terhadap VOC dan Pakubawana III.

Untuk menghadapi serangan itu, VOC melakukan siasat atau taktik adu domba.

VOC mengirim utusannya untuk menghasut Raden Mas Said supaya berhati-hati dengan Pangeran Mangkubumi yang dikabarkan hendak mengkhianatinya.

Rupanya, taktik adu domba yang dilakukan VOC berhasil, di mana terjadi perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi pada 1752.

VOC kemudian memanfaatkan kondisi untuk berunding bersama Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III akan diberikan padanya.

Pada 22-23 September 1754, VOC mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk berunding bersama membahas mengenai pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam.

Hasilnya, disepakati perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Salah satu isi perjanjian Giyanti adalah pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Kasunan Surakarta menguasai wilayah Kerajaan Mataram Islam bagian timur Sungai Opak, sedangkan Kasultanan Ngayogyakarta menguasai bagian barat Sungai Opak.

Referensi:

  • Sabdacarakatama. (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/10/19/170000479/mengapa-kerajaan-mataram-islam-dibagi-dua-dalam-perjanjian-giyanti-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke