Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5 Pahlawan Nasional yang Berjuang Sebelum 1908

KOMPAS.com - Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan telah berlangsung selama ratusan tahun, bahkan sebelum era kebangkitan nasional dimulai pada 1908.

Era kebangkitan nasional ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Namun, jauh sebelum itu, banyak pahlawan nasional yang telah berjuang melawan dan mengusir penjajah.

Berikut ini 5 pahlawan yang berjuang sebelum 1908:

  • Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien adalah pahlawan nasional yang lahir di Aceh pada 1850. Ia berjuang melawan penjajah Belanda di tanah kelahirannya, Aceh.

Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Bersama sang suami, Cut Nyak Dien pun memimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Suami Cut Nyak Dien meninggal dunia dalam pertempuran di Gle Tarum pada 29 Juni 1878.

Kematian sang suami membuat Cut Nyak Dien semakin bersemangat melawan Belanda.

Pada 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan seorang pejuang Aceh bernama Teuku Umar. Namun, ia kembali ditinggal sang suami yang tewas dalam pertempuran pada 11 Februari 1899.

Cut Nyak Dien kemudian melanjutkan perjuangan dengan bergerilya selama enam tahun.

Akan tetapi, kondisi kesehatan Cut Nyak Dien menurun saat bergerilya menghindari pasukan Belanda. Ia kemudian ditangkap Belanda.

Cut Nyak Dien sempat ditahan di Banda Aceh, kemudian dibuang ke Sumedang hingga akhir hayatnya.

Dalam masa pembuangan, Cut Nyak Dien meninggal dunia pada 6 November 1908. Itulah yang menjadi alasan makam pahlawan asal Aceh itu berada di Sumedang.

Cut Nyak Dien kemudian ditetapkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 106 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964.

  • Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia merupakan seorang pahlawan perempuan yang juga berasal dari Aceh.

Ia lahir di Aceh pada 1970, ketika Perang Aceh melawan Belanda sedang berlangsung.

Suami Cut Nyak Meutia adalah seorang pejuang bernama Teuku Muhammad atau dikenal juga sebagai Teuku Cik Tunong.

Bersama sang suami, Cut Nyak Meutia berjuang melawan Belanda. Mereka pernah menyerang markas Belanda di Idie dan bergerilya di daerah Pasai.

Pada Mei 1905, Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati.

Cut Nyak Meutia kemudian menikah dengan teman sang suami, Pang Nangru. Namun, pernikahan mereka hanya bertahan selama lima tahun, karena Pang Nangru tewas dalam pertempuran melawan pasukan Marsose Belanda di Paya Cicem.

Kehilangan sang suami tidak menyurutkan keberanian Cut Nyak Meutia untuk melawan Belanda.

Ia tetap melanjutkan perjuangan dengan bergerilya bersama anaknya, Teuku Raja Sabi.

Namun, perjuangan pahlawan asal Aceh itu harus berakhir selamanya setelah ia tertembak oleh pasukan Belanda yang menyerang tempat persembunyiannya di Alue Kurieng pada 24 Oktober 1910.

Atas jasanya dalam melawan penjajahan Belanda, Cut Nyak Meutia ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden No. 107 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964.

  • Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura yang memiliki nama asli Thomas Matulessy, lahir di Saparua, Maluku, pada 1783.

Ia sempat bergabung dengan dinas militer dan mendapatkan pangkat sersan pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia.

Namun, setelah Belanda mengambil alih pemerintahan kolonial di tanah Hindia dari tangan Inggris, nasib rakyat Maluku menjadi lebih sengsara.

Kapitan Pattimura pun memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajahan Belanda.

Di bawah pimpinan Pattimura, rakyat Maluku berhasil merebut Benteng Duurstede pada 16 Mei 1817.

Belanda kemudian melakukan serangan besar-besaran untuk merebut kembali Benteng Duurstede.

Meski begitu, Pattimura tidak menyerah dan terus berjuang bersama rekan-rekannya, seperti Paulus Tiahahu, Anthony Rebok, Philip Latumahona, dan Said Parintah.

Perjuangan Pattimura berakhir ketika ia ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman gantung di depan Benteng Victoria, Ambon, pada 6 November 1973.

Pattimura ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia melalui SK Presiden No. 087/TK/Tahun 1973 pada 8 November 1973.

  • I Gusti Ketut Jelantik

I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional yang berjuang sebelum 1908.

Ia berasal dari Bali dan menjadi Patih Agung Kerajaan Buleleng pada 1828.

I Gusti Ketut Jelantik menggelorakan perlawanan terhadap Belanda sebagai wujud penolakannya terhadap perjanjian dihapuskannya hukum Tawan Karang.

Hukum Tawan Karang ditetapkan Kerajaan Buleleng untuk menyita barang bawaan dan kapal yang terdampar di pantai wilayah Bali.

Lantaran penolakan itu, Belanda kemudian menyerang Buleleng pada Juni 1846 dan membuat Ketut Jelantik harus lari ke Jagaraga.

Belanda terus berusaha mengejar dan menangkap I Gusti Ketut Jelantik.

I Gusti Ketut Jelanti sempat meminta bantuan ke Karangasem, tetapi pada akhirnya ia meninggal dunia dalam pertempuran melawan Belanda di Bale Pundak.

Pertempuran ini juga dikenal sebagai Perang Puputan, yakni seluruh anggota kerajaan dan rakyat Bali berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.

Pada 16 September 1993, I Gusti Ketut Jelantik ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 077/TK/Tahun 1993.

  • Raden Mas Said (KGPA Mangkunegara I)

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPA) Mangkunegara I memiliki nama asli Raden Mas Said serta dijuluki Pangeran Sambernyawa karena keberaniannya menumpas pasukan Belanda.

Ia lahir di Kartasura pada 7 April 1725. Ayahnya adalah Pangeran Arya Mangkunegara dan ibunya Raden Ayu Wulan.

Pangeran Sambernyawa mulai melawan Belanda setelah sang ayah dibuang ke Sri Lanka.

Ia dikenal gagah berani berjuang hingga menewaskan banyak tentara Belanda. Oleh karena itu, Belanda pun menjuluki Raden Mas Said sebagai Laskar Sambernyawa.

Raden Mas Said sudah memimpin perlawanan terhadap Belanda sejak dia berusia 16 tahun. Ia berperang melawan Belanda bersama Sunan Kuning.

Selain melawan Belanda, Raden Mas Said juga berperang melawan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi yang berpihak kepada Belanda.

Belanda sempat berhasil membungkam perlawanan Raden Mas Said. Namun, ia kembali mengangat senjata melawan Belanda dengan bantuan Pangeran Mangkubumi yang berselisih dengan Pakubuwana II.

Perlawanan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melawan Belanda dimulai pada 1746 dan berlangsung selama sembilan tahun.

Namun, sejak 13 Februari 1755, Raden Mas Said harus melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dengan seorang diri.

Sebab, Pangeran Mangkubumi berhasil dibujuk oleh Belanda melalui Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram.

Perlawanan Raden Mas Said terhadap Belanda pun usai dengan ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada 24 Februari 1747.

Isi Perjanjian Salatiga adalah Raden Mas Said setuju menghentikan perlawanan terhadap Belanda dan ia berhak mendapatkan sebagian wilayah Kasunanan Surakarta sebagai imbalannya.

Raden Mas Said kemudian mendirikan Istana Mangkunegaran dan ia menjadi raja pertama dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I.

Mangkunegara I meninggal dunia 28 Desember 1795. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden No. 048/TK/Tahun 1988, pada 17 Agustus 1988.

Referensi:

  • Pahlawan Indonesia. (2007). Indonesia: Media Pusindo.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/26/153848679/5-pahlawan-nasional-yang-berjuang-sebelum-1908

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke