Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Marah Rusli, Pengarang Novel Fenomenal Siti Nurbaya

Ia terkenal berkat karya sastranya yang fenomenal berjudul Siti Nurbaya, yang diterbitkan pada 1920 dan disenangi banyak orang.

Cerita Siti Nurbaya tersebut masih melegenda hingga kini, dan membuat nama Marah Rusli  melambung tinggi dalam dunia sastra Indonesia.

Dalam dunia sastra Indonesia, Marah Rusli digelari sebagai Bapak Roman Modern Indonesia oleh HB Jassin, yang juga salah satu sastrawan Tanah Air.

Masa kecil Marah Rusli

Marah Rusli merupakan sastrawan Indonesia yang lahir di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 7 Agustus 1889.

Ia lahir dalam lingkungan keluarga yang beragama Islam dan keturunan bangsawan.

Ayah Marah Rusli, Sutan Abu Bakar, adalah seorang demang yang bergelar Sultan Pangeran, yang masih keturunan langsung Raja Pagaruyung.

Sedangkan ibunya berasal dari Jawa dan masih keturunan dari Sentot Alibasyah, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.

Marah Rusli memiliki gelar yang berasal dari ayahnya yang bergelar Sultan.

Dalam tradisi Minangkabau, anak laki-laki dari seorang ayah yang bergelar Sutan dan ibu yang tidak memiliki gelar akan bergelar "Marah".

Pendidikan Marah Rusli

Ketika berusia anak-anak, Marah Rusli mendapat pendidikan pertama di Sekolah Melayu II hingga tamat pada 1904.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Raja Hoofden School di Bukittinggi hingga lulus pada 1910.

Selama belajar di Hoofden School, Marah Rusli merupakan murid yang sangat pandai, hingga direkomendasikan oleh salah satu gurunya untuk melanjutkan sekolahnya di Belanda.

Akan tetapi, orang tua Marah Rusli tidak menyetujui, sehingga ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Dokter Hewan di Bogor hingga tamat pada 1915.

Karier sebagai dokter hewan

Lulus dari Sekolah Dokter Hewan di Bogor, Marah Rusli bekerja sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar pada 1915.

Selama bekerja di Sumbawa Besar, ia mengamati kehidupan sosial masyarakat dalam sebuah novel berjudul La Hami.

Pada 1916, Rusli pindah ke Bima untuk bekerja sebagai Kepala Perhewanan selama dua tahun, hingga 1918.

Setelah itu, ia bekerja di Bandung sebagai Kepala Peternakan Hewan Kecil, dan pindah lagi ke Blitar untuk menempati posisi Kepala Perhewanan Daerah.

Pada 1920, Rusli diangkat menjadi asisten dosen di Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor.

Setahun kemudian hingga empat tahun berikutnya, ia menjadi dokter hewan di Jakarta, sebelum akhirnya pindah ke Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, dan mengabdikan diri di bidang yang sama hingga era setelah kemerdekaan.

Bergabung militer

Setelah Indonesia merdeka, Marah Rusli tinggal di Solo. Ia kemudian masuk dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Di Angkatan Laut, ia memiliki pangkat mayor dan bertugas dalam urusan pengangkutan darat, pertanian, peternakan, dan perikanan.

Marah Rusli juga bertanggung jawab dalam urusan pengawetan makanan dan keperluan Angkatan Laut di Kota Tegal, Jawa Tengah, serta berperan dalam melatih pegawai militer dalam masalah kehewanan semasa revolusi pasca-kemerdekaan.

Pada 1948, Marah Rusli menjadi dosen di Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Semarang untuk bekerja sebagai Kepala Perekonomian.

Marah Rusli pensiun dalam kedinasan pada 1953 dan pindah ke Bogor di mana ia bekerja di Pusat Penyelidikan Peternakan hingga1960.

Pelopor kesusastraan Indonesia modern

Meski meniti karier di bidang kedokteran hewan, Marah Rusli ternyata sangat memperhatikan dunia sastra dan masyarakat.

Perhatiannya dalam bidang sastra pun sudah tumbuh sejak kecil, ketika ia sering mendengarkan dongeng berwawasan dan memiliki nilai pendidikan.

Berkat keteguhannya mendalami sastra, Marah Rusli berhasil melahirkan karya sastra besar berjudul Siti Nurbaya.

Lahirnya novel Siti Nurbaya sebagai sebuah karya sastra membuat Marah Rusli dianggap sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern.

Selain Siti Nurbaya, ada beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Marah Rusli, seperti novel Memang Jodoh, Tesna Zahera, dan cerita anak berjudul Tambang Intan Nabi Sulaiman.

Keteguhannya dalam melahirkan karya sastra yang hebat membuatnya diberi gelar Bapak Roman Modern Indonesia oleh sastrawan HB Jassin.

Kegemilangan Marah Rusli dalam melahirkan karya sastra dipengaruhi oleh buku bacaannya yang berasal dari Barat.

Buku bacaannya tersebut merupakan simbol kemajuan zaman pada saat itu. Ia kemudian melihat bahwa adat tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Melalui sastra, Marah Rusli meluapkan segala bentuk pemberontakan hatinya atas pengaruh adat yang dianggapnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Wafat

Berkat novel Siti Nurbaya, Marah Rusli mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Indonesia pada 1969.

Siti Nurbaya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Di usia senjanya, Marah Rusli sangat memperhatikan perkembangan sastra di Indonesia.

Ia terus berkiprah dalam bidang sastra hingga meninggal dunia pada 17 Januari 1968 di Bandung dalam usia 79 tahun. Marah Rusli kemudian dimakamkan di Kota Bogor, Jawa Barat.

Referensi:

  • Mardanas, Izarwisma. (1981). Marah Rusli: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/04/090000479/marah-rusli-pengarang-novel-fenomenal-siti-nurbaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke