Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pangeran Sado, Ayah Raja Jeongjo yang Bernasib Tragis

Kelahirannya merupakan kabar gembira bagi Dinasti Joseon, karena kematian kakaknya, Pangeran Hyojang, pada 1728, sempat menyebabkan krisis penerus takhta.

Pangeran Sado yang lahir pada 13 Februari 1735 langsung diangkat sebagai putra mahkota Joseon.

Akan tetapi, Pangeran Sado tidak pernah menjadi raja, karena pada usia 27 tahun, ia harus menjalani hukuman mati setelah dituduh menderita gangguan mental dan melakukan serangkaian perbuatan keji.

Sedangkan putranya yang bernama Yi San, naik takhta dengan nama Raja Jeongjo, menggantikan Raja Yeongjo sebagai penguasa Joseon pada 1776.

Hubungan Pangeran Sado dan Raja Yeongjo

Kisah Pangeran Sado dapat ditelusuri dari memoar yang ditulis istrinya, Putri Hyegyeong, pada 1805, yang menceritakan kehidupan mereka.

Dalam memoarnya, Putri Hyegyeong mencatat bahwa pada 1745 Pangeran Sado menderita penyakit parah yang sering membuatnya hilang kesadaran.

Meski kondisinya itu dapat membaik, tetapi hubungan Pangeran Sado dengan Raja Yeongjo membuatnya terus mengalami kecemasan.

Ketika berusia 15 tahun, Raja Yeongjo memberikan kesempatan Pangeran Sado untuk menjadi bupati di suatu wilayah.

Namun, Putri Hyegyeong mengungkap bahwa Raja Yeongjo tidak pernah puas dengan segala hal yang dicapai Pangeran Sado.

Selain itu, Raja Yeongjo dilaporkan tidak pernah mengizinkan Pangeran Sado untuk mengunjungi makam leluhurnya hingga akhir 1756, ataupun menghadiri urusan kerajaan.

Raja Yeongjo juga sering menghukum dan memarahi Pangeran Sado di depan dayang, kasim, atau di depan banyak orang.

Kondisi mental Pangeran Sado

Pada 1752, ketika Pangeran Sado membaca teks Taosime berjudul Okchugyeong, ia berhalusinasi melihat Dewa Petir.

Sejak saat itu, ia takut dengan petir dan selalu menolak untuk menyentuh benda apapun yang memiliki pahatan karakter dari buku tersebut.

Kondisinya semakin parah ketika dua orang terdekatnya, yaitu neneknya, Ratu Inwon, dan Ratu Jeongseong meninggal pada 1757.

Pangeran Sado sangat frustasi hingga sering melampiaskan amarahnya dengan memukuli para kasimnya hingga meninggal. Selain itu, hubungannya dengan Raja Yeongjo semakin buruk.

Pada 1758, ketakutan Pangeran Sado mengenakan pakaian (vestiphobia) bertambah para.

Para dayang dan kasimnya bahkan harus mempersiapkan sepuluh hingga tiga puluh pakaian, yang beberapa di antaranya akan dibakar oleh Pangeran Sado sebagai ritual untuk mengusir hantu.

Dalam proses berpakaian saja, terkadang staf istana ada yang terluka dan bahkan terbunuh.

Tindakan amoral Pangeran Sado

Semakin hari, kondisi Pangeran Sado kian memburuk. Selain menyiksa dan membunuh staf istana, ia pun kerap melakukan tindakan tidak bermoral lainnya.

Pangeran Sado sering melampiaskan kemarahannya dengan menyerang dan memperkosa dayang.

Pada akhir 1757, ia juga menikahi dayang neneknya yang bernama Pingae, suatu hal yang dianggap tabu dan melanggar peraturan kerajaan.

Setelah permasalahan ini sampai ke telinga Raja Yeongjo, Pangeran Sado berusaha untuk melompat ke dalam sumur. Namun, usaha itu berhasil digagalkan oleh penjaga.

Di hari ulang tahunnya pada 1760, emosi Pangeran Sado kembali memuncak hingga mencaci maki permasisuri Raja Yeongjo dan anak-anaknya sendiri.

Selain itu, Pangeran Sado juga melakukan kekerasan fisik kepada istrinya, Putri Hyegyeong, dan membunuh Pingae pada 1761.

Kematian Pangeran Sado

Pada 1762, Pangeran Sado terlibat konflik dengan pejabat istana dan mengancam akan membunuh putranya.

 Ia pun mencari putra pejabat itu hingga menyelinap ke istana raja. Namun, tindakan Pangeran Sado itu dibelokkan oleh pejabat istana sebagai usaha membunuh Raja Yeongjo.

Merasa perilaku Pangeran Sado sudah di luar batas, Permaisuri meminta Raja Yeongjo mengambil tindakan karena khawatir akan keselamatan keturunannya.

Namun, berdasarkan aturan yang berlaku di Joseon, Raja tidak dapat mengeksekusi Pangeran Sado.

Selain itu, apabila Pangeran Sado ditetapkan sebagai penjahat, maka anak dan istrinya juga menghadapi hukuman dan harus dibunuh atau diasingkan dari istana Joseon.

Sebagai solusinya, Raja Yeongjo akhirnya menangkap dan mengurung Pangeran Sado dalam peti beras yang cukup sempit.

Pangeran Sado pun sempat meminta ampunan dan memberontak, tetapi raja tetap pada pendiriannya.

Dua hari kemudian, peti itu dipindahkan ke istana atas setelah diikat tali dan ditutupi rumput.

Pangeran Sado akhirnya dinyatakan meninggal pada hari kedelapan, tepatnya pada 12 Juli 1762, karena kelaparan.

Pangeran Sado kemudian dimakamkan di Gunung BaebongSan di Yangju.

Korban konspirasi politik?

Pada abad ke-19, muncul rumor bahwa Pangeran Sado tidak pernah menderita penyakit mental, tetapi menjadi korban dari lawan politiknya.

Meski rumor itu terbantahkan oleh memoar Putri Hyegyeong, yang mengisahkan kehidupan Pangeran Sado secara rinci, tetapi kematian ayah Raja Jeongjo ini tetap menjadi perdebatan.

Banyak yang meyakini bahwa sebenarnya Pangeran Sado hanyalah korban konspirasi politik lawan politiknya.

Ketika Raja Jeongjo berkuasa, makam Pangeran Sado dipindahkan ke Kota Suwon dan dibangun Benteng Hwaseong untuk menjaganya.

Tidak hanya itu, semasa memerintah, Raja Jeongjo juga berusaha keras untuk membersihkan nama ayahnya.

Referensi:

  • Sari, Diah. (2021). Annyeonghaseyo: Telusur Jejak Digital Korean Wave Di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/05/090000179/pangeran-sado-ayah-raja-jeongjo-yang-bernasib-tragis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke