Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II

  • 1792-1810
  • 1811-1812
  • 1826-1828.

Di setiap periodenya, Hamengkubuwono II terus berjuang dalam melawan pasukan Inggris, dipimpin Thomas Raffles yang berkuasa di Pulau Jawa.

Masa Muda

Nama asli dari Sultan Hamengkubuwono II adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima Sultan Hamengkubuwono I.

Ia lahir tanggal 7 Maret 1750, ketika ayahnya sedang melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC.

Sewaktu Hamengkubuwono I diakui dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755, secara tidak langsung Mas Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.

Ketika beranjak dewasa, ayahnya berniat menjodohkan Sundara dengan putri Kasunanan Surakarta.

Melalui pernikahan tersebut, sebenarnya Hamengkubuwono I masih menyimpan keinginan untuk menyatukan Dinasti Mataram yang sudah terpecah.

Sundara pun pergi berkunjung ke Surakarta tahun 1763. Sayangnya, upaya perjodohan ini gagal.

Akibatnya, Dinasti Mataram semakin sulit disatukan kembali.

Hubungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta pun mengalami ketegangan, yang dipicu oleh batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut.

Akhirnya, tanggal 26 April 1774, disusun Perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh.

Perjanjian ini menegasakan mengenai batasan wilayah sebagai upaya mencegah terulangnya konflik kembali.

Kepemimpinan Periode Pertama

Bulan Maret 1792, Sundara naik tahta di Kesultanan Yogyakarta menggantikan mendiang ayahnya, Hamengkubuwana I.

Ia menyandang gelar sebagai Hamengkubuwono II.

Suatu waktu, pada 19 Agustus 1799, Patih Danureja I, orang terdekat Hamengkubuwono II meninggal. Kedudukannya pun digantikan oleh cucunya, Raden Tumenggung Mertanegara, bergelar Danureja II.

Keputusan ini rupanya merugikan Sultan, karena Danureja II lebih banyak membela Belanda daripada rajanya sendiri.

Hamengkubuwana II yang sedari awal sangat anti terhadap Belanda pun merasa marah dan memecatnya.

Posisinya kemudian diganti oleh Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma, adik Hamengkubuwana II.

Kemudian, Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan yang dilakukan menantunya, Raden Rangga Prawiradirjo III, bupati wedana Madiun.

Kala itu, Rangga menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok, berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh Daendels.

Belanda pun menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta.

Dari sini, Daendels semakin mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, terutama setelah ditemukan surat dari jasad Raden Rangga dengan cap berlogo kesultanan.

Keributan pun terjadi antara kedua belah pihak. Sultan dengan tegas menolak tuduhan yang dilontarkan terkait surat tersebut.

Bulan Desember 1810, Herman Daendels menyerang Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantikan posisinya dengan putranya, GRM Suraja.

Daendels juga menangkap Pangeran Natakusuma serta menarik kembali Patih Danureja II untuk bertugas.

Periode Kedua

Pada 1811, pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris.

Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh Hamengkubuwono II untuk kembali menjabat sebagai raja dan menurunkan putranya, Hamengkubuwana III.

Sewaktu Inggris berkuasa, hampir terjadi pertumpahan darah antara utusan Kepala Pemerintahan Inggris Raffles, dengan kerabat keraton di depan Sultan.

Pertumpahan hampir terjadi hanya karena kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana Sultan ketika Raffles berkunjung ke Yogyakarta pada Desember 1811.

Pada akhirnya, pertempuran di antara keduanya benar terjadi saat sura tantara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwono II terbongkar oleh Inggris.

Oleh sebab itu, tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta.

Dalam pertempuran ini, Hamengkubuwono II mengalami kekalahan, ia ditangkap dan dibuang ke Pulau Penang.

Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta.

Periode Ketiga

Tahun 1825, terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro, putra Hamengkubuwono III terhadap Belanda.

Pada masa itu, raja yang sedang bertahta adalah Hamengkubuwono V.

Perlawanan dari Pangeran Diponegoro dituai banyak dukungan dari para rakyat.

Untuk menarik simpati mereka, pemerintah Hindia mendatangkan Hamengkubuwana II dan menggeser kedudukan Hamengkubuwono V.

Hamengkubuwono II kembali memimpin sebagai raja Yogyakarta pada 18 Agustus 1826.

Kedatangan Hamengkubuwono II ini sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro.

Dalam masa itu, Sultan berusaha keras untuk menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya.

Kematian

Setelah memimpin Yogyakarta selama tiga periode, Sultan Hamengkubuwono II wafat pada 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang tenggorokan dan usia tua.

Kedudukannya pun kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwono V.

Jenazah Hamengkubuwono II dimakamkan di kompleks pemakaman Kotagede.

Peninggalan

Sri Sultan Hamengkubuwono II meninggalkan karya-karya momumental, mulai dari membentuk satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan persenjataan yang lebih baik.

Ia juga membangun Benteng Baluwarti yang dilengkapi meriam guna melindungi keraton dari serangan luar.

Kemudian, Hamengkubuwono II juga memiliki peninggalan dalam bidang sastra, seperti Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. 

Dua karya ini menceritakan tentang perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. 

Selain itu, Hamengkubuwono II juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit. 

Referensi:

  • Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. (2008). Sultan Hamengkubuwana II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/23/100000479/biografi-sri-sultan-hamengkubuwono-ii

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke