Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benteng Pendem Ambarawa: Sejarah, Fungsi, dan Kompleks Bangunan

Berlokasi di dekat Museum Kereta Api Ambarawa, benteng ini dibangun pada 1834 dan selesai pada 1845.

Kini, bangunan Benteng Pendem Ambarawa masih berdiri dan digunakan sebagai Lapas IIA Ambarawa, rumah dinas sipir dan tentara, sekaligus tempat wisata sejarah.

Sejarah Benteng Pendem Ambarawa

Benteng Pendem Ambarawa menjadi saksi bisu betapa Ambarawa dulunya dijadikan basis militer, pertahanan, logistik, atau sekadar kota penghubung bagi kepentingan Belanda.

Secara geografis, letaknya memang sangat strategis, yaitu berada di jalur pertemuan tiga kota, Semarang, Magelang, dan Salatiga.

Karena letaknya yang strategis itu, selama Perang Diponegoro (1827-1830), Kolonel Hoorn yang menjabat sebagai Komandan Divisi 2, memerintahkan untuk membangun barak militer dan penyimpanan logistik untuk berperang, yang berlokasi di daerah Bawen.

Setelah perang berakhir, tepatnya pada 1834, dibangunlah sebuah benteng di Ambarawa yang kemudian diberi nama Fort Willem I atau lebih dikenal dengan nama Benteng Pendem Ambarawa.

Nama Fort Willem I diambil dari nama Raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje-Nassau (1815-1840).

Sedangkan sebutan Benteng Pendem berhubungan dengan bangunannya tertutup tanah, karena dalam bahasa Jawa, istilah pendem berarti berada di bawah tanah atau terkubur.

Untuk mendirikan Benteng Pendem Ambarawa, Belanda melakukan persiapan besar-besaran dan terencana.

Barak prajurit, bengkel kerja, hingga perkampungan pekerja dengan kapasitas 4.500 orang didirikan di dekat lokasi pembangunan.

Proyek pembangunan benteng melibatkan insinyur zeni, penjaga, dan 3.000 kuli pribumi serta beberapa tahanan yang dihukum kerja paksa.

Bahkan banyak pekerjanya yang diperlakuan tidak manusiawi hingga berakhir tewas mengenaskan.

Meski telah ditempati para tentara sejak 1844, pembangunan benteng ini baru benar-benar selesai pada 1845.

Fungsi Benteng Pendem Ambarawa

Pada umumnya, sebuah benteng dibangun dengan tujuan untuk pertahanan dari serangan musuh.

Akan tetapi, tidak dengan Benteng Pendem Ambarawa, yang konon mampu menampung sebanyak 12.000 tentara.

Hal itu dibuktikan dengan arsitektur bangunannya yang banyak jendela, mengindikasikan bahwa fungsi utamanya bukan untuk pertahanan, tetapi sebagai barak militer, penjara, dan gudang logistik perang, mulai dari meriam, senapan, kendaraan berat, juga kebutuhan makanan.

Selain itu, Benteng Pendem Ambarawa tidak dilengkapi bangunan yang berfungsi sebagai tameng dan tempat meriam.

Pada masa penjajahan Jepang, benteng ini digunakan sebagai kamp tawanan orang-orang Belanda dan penduduk yang dicurigai membangkang kepada pemerintah Jepang.

Sepanjang sejarahnya, banyak perlakuan mengerikan yang diterima para tawanan hingga meninggal di penjara ini.

Oleh karena itu, banyak cerita horor menyelimuti Benteng Pendem Ambarawa yang menyebar di masyarakat hingga sekarang.

Salah satu tokoh yang pernah ditahan di benteng ini adalah pejuang sekaligus ulama, Kiai Mahfud Salam.

Ia mendiami salah satu blok di Benteng Pendem Ambarawa, hingga akhirnya meninggal dunia dan dikebumikan di luar kompleks benteng.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, benteng ini digunakan sebagai pangkalan militer oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Antara 1950 hingga 1985, sebagian benteng pernah diubah menjadi penjara dewasa dan remaja.

Kemudian sejak 2003 hingga saat ini, Benteng Pendem Ambarawa dimanfaatkan sebagai Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Ambarawa dan asrama.

Kompleks bangunan

Secara umum, bangunan Benteng Pendem Ambarawa berbentuk bujur sangkar dan lingkungan sekitarnya berupa persawahan.

Pada kompleks benteng ini, terdapat beberapa bangunan induk yang letaknya terpisah, sesuai dengan penjuru arah mata angin.

Selain itu, bangunan Benteng Pendem Ambarawa memiliki banyak jendela dan tidak dilengkapi dengan bastion, karena fungsinya memang untuk barak militer dan gudang logistik, bukan sebagai benteng pertahanan.

Saat ini, beberapa bagian bangunan masih dalam kondisi seperti aslinya. Sementara pada beberapa bagian lainnya telah mengalami perubahan, baik disesuaikan dengan fungsi maupun karena pengaruh alam.

Referensi:

  • Dermawan, Kris Sidik. (2018). Peninggalan Benteng Bersejarah di Indonesia. Yogyakarta: Rubrik.
  • Djaja, Wahjudi. (2018). Jejak Benteng Kolonial di Indonesia. Klaten: Cempaka Putih.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/27/150000379/benteng-pendem-ambarawa-sejarah-fungsi-dan-kompleks-bangunan

Terkini Lainnya

Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Stori
Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Stori
Sejarah Penemuan Angka Romawi

Sejarah Penemuan Angka Romawi

Stori
7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

Stori
Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Stori
7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

Stori
Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Stori
Sejarah Pura Luhur Batukaru di Tabanan

Sejarah Pura Luhur Batukaru di Tabanan

Stori
Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah di Andalusia

Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah di Andalusia

Stori
Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah di Damaskus

Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah di Damaskus

Stori
Kehidupan Ekonomi Manusia pada Masa Bercocok Tanam

Kehidupan Ekonomi Manusia pada Masa Bercocok Tanam

Stori
Latar Belakang Lahirnya Sumpah Pemuda

Latar Belakang Lahirnya Sumpah Pemuda

Stori
Prasangka dalam Keberagaman

Prasangka dalam Keberagaman

Stori
Sejarah Kedatangan Jepang ke Pulau Jawa

Sejarah Kedatangan Jepang ke Pulau Jawa

Stori
Kenapa Khalifah Al-Adil I Dijuluki Pedang Iman?

Kenapa Khalifah Al-Adil I Dijuluki Pedang Iman?

Stori
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke