Yang mengusulkan pelaksanaan culturstelsel di Indonesia yaitu Johannes van den Bosch yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tujuan utama adanya kebijakan tanam paksa di bawah gubernur van den Bosch yaitu menyelamatkan Belanda dari krisis ekonomi. Sebab saat itu kas pemerintah Belanda kosong.
Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila).
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah mendapat berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870.
Latar Belakang
Cultuurstelsel muncul karena kebijakan sewa tanah yang diterapkan pada era Raffles tidaklah berjalan seperti yang seharusnya.
Bukannya mendapat keuntungan besar, sistem ini justru membawa kerugian dengan menurunnya pendapatan dari hasil pertanian.
Hal tersebut kemudian menjadi dasar van den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830.
Selain itu, kebijakan ini juga dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang dialami Hindia Belanda.
Latar belakang penerapan kebijakan tanam paksa oleh kolonial Belanda adalah menutupi kerugian dalam perang di Eropa dan perlawanan rakyat Indonesia.
Pada dasarnya, Cultuurstelsel bertujuan untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis usai perang Jawa.
Kritik
Menurut catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis, ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan.
Berawal dari situ, serangan dari orang-orang non pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir tahun 1840.
Masalah tersebut kemudian diangkat ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputra Jawa.
Kritik Kaum Liberal
Dari masalah yang muncul, para kaum Liberal kemudian berusaha untuk menghapuskan sistem tanam paksa.
Upaya tersebut pun berhasil dilakukan pada 1870 dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet.
Selain bertujuan untuk menghapuskan Cultuurstelsel, kaum Liberal juga memiliki tujuan lain, yaitu kebebasan di bidang ekonomi.
Kaum Liberal berpendapat bahwa seharusnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi.
Mereka menghendaki kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertugas sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, dan menegakkan hukum.
Kritik Kaum Humanis
Munculnya sistem tanam paksa dan UU Agraria ini justru menimbulkan kritik dari para kaum humanis Belanda.
Kritik tersebut disampaikan oleh Eduard Douwes Dekker, seorang asisten residen di Lebak, Banten.
Douwes Dekker menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat cultuurstelsel dalam bukunya bertajuk Max Havelaar (1980).
Namun, di dalam buku tersebut ia menggunakan nama samaran, yaitu Multatuli.
Selain Douwes Dekker, terdapat tokoh lain juga, seperti van Deventer, ia menulis buku berjudul Een Eereschuld yang membocorkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda.
Dalam buku tersebut, Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya.
Dasar pemikiran dari van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak
Bidang Pertanian:
Bidang Sosial:
Bidang Ekonomi:
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/02/122535879/sistem-tanam-paksa-latar-belakang-aturan-kritik-dan-dampak