Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kerajaan Gowa-Tallo: Letak, Kehidupan, Peninggalan, dan Keruntuhan

Letak wilayah inti kerajaan ini berada di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Kerajaan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17, ketika kesultanan ini berkembang sebagai pusat perdagangan dan mengembangkan berbagai inovasi di bidang pemerintahan, ekonomi, militer, dan sosial budaya.

Awal mula kejayaan kerajaan ini tidak lepas dari peran Karaeng Patingalloang, seorang mangkubumi yang menjalankan kekuasaan pada 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid yang kala itu masih kecil.

Pemimpin kesultanan Gowa-Tallo yang paling terkenal adalah Sultan Hasanuddin.

Saat Sultan Hasanuddin memerintah, terjadi perlawanan sengit melawan VOC yang melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku.

Sejarah

Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo terbagi dalam dua zaman, yaitu periode sebelum memeluk Islam dan setelah memeluk Islam.

Kerajaan Gowa-Tallo merupakan gabungan dari dua kerajaan yang berasal dari keturunan sama, yakni Kerajaan Gowa.

Pada awalnya, di wilayah Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau Sembilan Bendera.

Sembilan komunitas tersebut adalah Tambolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agangjene, Bisei, Kalili, dan Sero.

Dengan berbagai cara, baik damai ataupun paksaan, sembilan komunitas tersebut membentuk Kerajaan Gowa.

Tomanurung kemudian diangkat menjadi raja dan mewariskan Kerajaan Gowa kepada putranya, Tumassalangga.

Bukti genealogis dan arkeologis mengisyaratkan bahwa pembentukan Kerajaan Gowa terjadi pada sekitar tahun 1300, di mana masyarakat dan penguasanya masih menganut kepercayaan animisme.

Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan Tonatangka Lopi pada abad ke-15.

Dua putra Tonatangka Lopi, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero, berebut takhta sehingga terjadilah perang saudara.

Setelah Batara Gowa menang, Karaeng Loe ri Sero turun ke muara Sungai Tallo dan mendirikan Kerajaan Tallo.

Selama bertahun-tahun, dua kerajaan bersaudara ini tidak pernah akur.

Hingga pada akhirnya, Gowa dan Tallo bersatu dalam kesepakatan "dua raja tetapi satu rakyat" pada 1565.

Setelah bersatu kembali, kerajaan ini disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar dengan sistem pembagian kekuasaan.

Raja dipilih dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya dari keturunan Tallo.

Kerajaan Gowa-Tallo pada masa Islam

Seiring berkembangnya Gowa-Tallo menjadi pusat perdagangan di kawasan timur nusantara, para saudagar muslim mulai berniaga ke wilayah ini.

Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Gowa-Tallo memasuki masa Islam dan berubah menjadi kesultanan.

Penguasa Gowa-Tallo pertama yang memeluk Islam adalah I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639) dengan gelar Sultan Alauddin I.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo

Sultan Hasanuddin atau dijuluki sebagai Ayam Jantan dari Timur yang naik takhta pada 1653 berhasil membawa Kerajaan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaan.

Pada masa kejayaannya, kerajaan ini dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur.

Sementara perkembangan kerajaan di bidang sosial masa pemerintahan Sultan Hasanudin adalah memajukan pendidikan dan kebudayaan islam sehingga banyak murid yang belajar agama islam ke Banten.

Sultan Hasanuddin adalah sosok raja yang sangat anti terhadap dominasi asing.

Oleh karena itu, dirinya menentang kehadiran VOC yang kala itu telah berkuasa di Ambon.

Perjuangan melawan penjajah di daerah Makasar dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.

Menyadari kedudukannya semakin terdesak, Belanda berupaya mengakhiri peperangan dengan melakukan politik adu domba antara Makassar dengan Kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makassar).

Keruntuhan

Siasat politik adu domba yang dijalankan Belanda terbukti ampuh.

Sebab, Raja Bone yaitu Aru Palaka, akhirnya mau bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar.

Perang inilah yang kemudian dikenal dengan nama Perang Makassar.

Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667.

Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Makassar, tetapi harus diterima Sultan Hasanuddin.

Dua hari setelah perjanjian itu, Sultan Hasanuddin turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Amir Hamzah.

Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kesultanan Gowa-Tallo.

Pasalnya, raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan.

Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo

  • Istana Balla Lompoa
  • Istana Tamalate
  • Masjid Katangka
  • Benteng Somba Opu
  • Benteng Fort Rotterdam

Referensi:

  • Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/21/163617279/kerajaan-gowa-tallo-letak-kehidupan-peninggalan-dan-keruntuhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke