Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Rawat Pancasila, Ideologi Hayat-Hidup

Kompas.com - 02/06/2023, 15:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

O'Brien (1992) menyebut risiko globalisasi dari ideologi-jaringan neo-lib ialah the end of geography negara-bangsa; sebab negara-bangsa akhirnya hanya dijadikan satu unit usaha dalam tata-ekonomi global (Ohmae, 1996:5).

Globalisasi ibarat 'dunia tanpa batas' sehingga pemerintahan negara dimasukan ke jalur transmisi modal global.

Globalisasi dengan ideologi neo-lib meningkatkan peran dan hegemoni pasar-pasar finansial dunia; faktor produksi terpusat pada kekuatan Iptek; internasionalisasi dan trans-nasionalisasi produk-produk teknologi; lonjakan hegemoni korporasi-korporasi lintas-negara yang dimiliki dan dikendalikan oleh orang per orang dengan ideologi individualisme; diplomasi antar-negara dijejali oleh diplomasi ekonomi. Tren-tren ini mengancam negara-bangsa dan ideologinya.

Tentu saja, jaringan dan ideologi neo-lib dengan globalisasi pasar tersebut di atas mengancam dan dapat menghambat upaya pelaksanaan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (1) menghendaki “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yakni koperasi.

Moh. Hatta (2002:230-233), ketua tim penyusun Pasal 33 UUD 1945 asli, menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 ialah politik-ekonomi Indonesia: “Antara aktivitas kooperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat dikerjakan oleh swasta. Pengusaha swasta bangsa kita sendiri atau oleh golongan swasta Indonesia yang bekerja sama dengan orang swasta bangsa asing... Yang perlu ialah inisiatif swasta itu bekerja di bawah kepemilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah.”

Jaringan ideologi neo-lib itu juga menggerus filosofi UUD 1945 yakni persatuan rakyat dan Tanah-Air sebagai satu negara-bangsa. Prof Mr Dr Raden Seopomo dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli tahun 1945 mengatakan, UUD kita tidak bisa lain dari pada mengandung sistim kekeluargaan. Sebab dalam Pembukaan itu, kita menerima aliran, pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa.

Hatta menyebut “Pokok pikiran utama dari Pasal 33 UUD 1945 ialah politik perekonomian RI”. Isinya ialah (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hayat-hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pancasila, Ideologi Hayat-Hidup

Bell hanya melihat ideologi dari unsur manusia. Ini tentu keliru. Hal ini sangat berbeda dengan sejarah dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dari bangsa Indonesia.

Kita baca ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 tentang satu-kesatuan bangsa, tanah, air, dan bahasa Indonesia.

Pada 1 Juni 1945, Soekarno, anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merilis pidato Kelahiran Pancasila pada Sidang BPUPKI hari ke-3 di Jakarta:

“Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu Weltanschaung yang kita semuanya setujui... Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan...Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila!”

Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Kita juga baca Pidato Presiden Soekarno pada Peringatan Lahir Pantjasila, Selasa 1 Juni 1964 di Jogjakarta: “Aku tidak mendapat wahju; Aku bukan Nabi. Aku sekedar menggali Pantja Sila di Bumi Indonesia sendiri!.” (Kedaulatan Rakjat, 1964)

Jadi, nilai-nilai Pancasila bersifat universal dan asli dari sistem hayat-hidup bangsa Indonesia selama ratusan bahkan ribuan tahun. Presiden Soekarno di depan Sidang MU PBB, New York (AS), menyebut nilai universal Pancasila: (1) Believe in God, (2) humanity, (3) unity, (4) democracy, dan (5) Social-justice.

Kita baca pesan zaman: Heraclitus dari Yunani pada abad ke-6 SM, panta rhei, alam semesta terus mengalir dan berubah yang analog dengan aliran air; Lao Tzu asal Tiongkok abad 4 SM tentang kekekalan alam semesta, karena selalu memberi, tidak hidup untuk dirinya; Abad ke-21, pesan Mangawari Waathai asal Kenya menanam harapan dan perdamaian dengan menanam pohon; Mei 2015, Vatikan merilis Laudato Si tentang merawat Bumi, rumah kita.

Leluhur bangsa Indonesia telah merawat budaya dan kearifan 1.331 suku, lebih dari 700 bahasa daerah dan lingkungannya di 17.499 pulau. Anak-anak menjalani pendidikan lingkungan sejak usia dini melalui peribahasa, ajaran, permainan, lomba, dan lebih dari 1.500 olahraga budaya bhinneka tunggal ika tentang prinsip merawat alam-hayat, pembentukan karakter, musyawarah-mufakat dan hikmat-bijaksana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com