KOMPAS.com - Politik etis yang dibentuk Pemerintah Belanda pada tiga program, yakni irigasi, emigrasi, dan pendidikan jauh dari harapan.
Kebijakan yang diharapkan bisa membawa perubahan besar berupa kemajuan di Hindia Belanda. Pada prakteknya disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah Belanda.
Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), terlepas dari visi yang muluk tersebut, pencapaian kebijakan politik etis jauh lebih sederhana.
Hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak yang tidak terlaksana dan mendapat hambatan. Terjadi penyimpangan di lapangan.
Baca juga: Politik Etis Belanda: Awal Lahirnya Tokoh-Tokoh Pergerakan Nasional
Dalam prakteknya ada penyimpangan dan disalahgunakan oleh pegawai Belanda saat kebijakan politik etis dijalankan.
Sasaran yang ditetapkan terlalu tinggi, tapi perangkat yang diadopsi untuk mengimplementasikannya terlalu rendah.
Berikut penyimpangan-penyimpangan politik etis:
Pada irigasi yang seharusnya untuk mengairi lahan pertanian atau perkebunan rakyat tapi kenyataannya tidak.
Irigasi yang sudah diperbaiki dan dibangun ditujukan untuk mengairi sawah dan ladang milik swasta dan pemerintah Belanda.
Bantuan pada sarana dan prasarana pertanian memang diberikan pemerintah Belanda. Tapi tidak diarahkan pada peningkatan teknik irigasi dalam teknologi padi untuk rakyat.
Dampaknya ada jurang pemisah antara perekonomian, perkebunan milik swasta atau pemerintah dengan rakyat.
Baca juga: Sejarah Pajak Indonesia, Dimulai Zaman Kerajaan
Pada program emigrasi rakyat ditempatkan di daerah-daerah perkebunan yang dikembangkan Belanda.
Mereka ditempat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada perkebunan. Itu terjadi karena adanya permintaan tenaga kerja di daerah.
Meski pada bidang pendidikan pemerintah Belanda membangun sekolah.
Namun ada diskriminasi, pendidikan yang dibuka hanya diperuntukan untuk anak pegawai dan orang mampu saja. Sementara rakyat miskin tidak diperbolehkan sekolah.