Oleh: D H Akhadi, S Suyanti, S Herlina, F Y Amandita, A Y Apriyana, T Suryati, R Andriyani, N A Gafur, S Zulaikha, H Ambarsari, N Hidayati
MERKURI (Hg) adalah logam berat beracun salah satu dari “sepuluh bahan kimia utama yang menjadi perhatian” (WHO, 2017).
Konsentrasi merkuri di atmosfer telah meningkat hingga 450 persen di atas tingkat alami.
Baca juga: Studi Ungkap Merkuri di Atmosfer Meningkat Tujuh Kali Lipat
Pembakaran bahan bakar fosil untuk energi pembangkit listrik dan boiler menyumbang 25 persen emisi dan pertambangan emas skala kecil yang secara global mempekerjakan hingga 20 juta orang menyumbang 37 persen yang merupakan sumber antropogenik utama emisi Hg ke atmosfer.
Sumber emisi merkuri signifikan lainnya adalah produksi logam non-besi primer (10 persen), produksi semen (9 persen), produksi emas skala besar (5 persen), limbah konsumen (TPA, pembakaran; 5 persen), produksi besi cor (2,3 persen), industri klor-alkali (1,4 persen), penyulingan minyak (1,4), produksi merkuri (0,6 persen), dan amalgam gigi (0,2 persen).
Proyeksi perubahan merkuri di masa depan yang disimulasikan menggunakan tiga skenario terbaik menunjukkan emisi antropogenik pada tahun 2035 menurun hingga 50 persen di Belahan Bumi Utara dan 35 persen di Belahan Bumi Selatan.
Polutan merkuri berdampak pada kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Pure Earth (2015) melaporkan risiko kesehatan terkait paparan merkuri pada 19 juta orang di seluruh dunia di lebih dari 450 lokasi sedunia.
Dampak dari keracunan Hg pada manusia dapat berupa kerusakan saluran pencernaan, gangguan kardiovaskuler, gangguan ginjal, kerusakan syaraf, hingga kematian.
Dampak pada bayi yang lahir dari ibu yang keracunan Hg yaitu terjadinya cerebral palsy, cacat fisik dan mental.
Baca juga: Setelah 1 Dekade, Pertemuan Konvensi Minamata untuk Merkuri Kembali Digelar
Tingginya tingkat emisi merkuri di Indonesia, utamanya dari sektor pertambangan emas skala kecil (PESK) yang tersebar di 800 daerah di Indonesia dengan jumlah lebih dari 60.000 dan menyumbang pencemaran merkuri lebih dari 1000 ton setiap tahunnya, segera diperlukan penanganan yang lebih serius.
Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang Undang No. 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury atau Konvensi Minamata mengenai Merkuri.
Sebagai bukti komitmen Pemerintah Indonesia dalam penanganan merkuri, diterbitkan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) yang merupakan dokumen rencana kerja tahunan yang memuat strategi, kegiatan dan target pengurangan dan penghapusan merkuri.
Dalam RAN PPM ada 4 (empat) bidang prioritas yaitu : PESK, kesehatan, manufaktur, dan energi, dengan target penurunan di sektor manufaktur 50 persen tahun 2030, sektor energi 33,2 persen tahun 2030, sektor PESK 50 persen tahun 2025, dan sektor kesehatan 100 persen pada tahun 2020.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan program pemerintah dalam menyudahi merkuri di Indonesia, diantaranya dengan menerapkan strategi yang tepat termasuk:
Baca juga: Merkuri: Pengertian, Kegunaan, dan Efek Sampingnya
Terkait inovasi dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi pencemaran merkuri, telah banyak teknologi hasil riset yang dapat diaplikasikan untuk mendukung program pemerintah menyudahi merkuri di Tahun 2030.
Teknologi remediasi polutan merkuri yang banyak dikembangkan meliputi pengembangan bahan-bahan baru dan teknologi inovatif seperti bahan nano, karbon nanotube (CNT), lembaran nano, dan nanokomposit magnetik, untuk menyerap merkuri.
Bahan-bahan seperti graphene, biochar, kerangka logam organik (MOFs), kerangka organik kovalen (COFs), hidroksida ganda berlapis (LDHs) serta bahan-bahan lainnya.
Selain teknologi remediasi konvensional seperti desorpsi termal atau adsorpsi karbon aktif serta metode fisik dan kimiawi lainnya, ada metode inovatif yang lebih praktis, hemat dan berkelanjutan.
Baca juga: Kasus Keracunan Merkuri Tertua di Dunia Terungkap di Zaman Tembaga
Metode ini meremediasi tanah, air dan udara yang terkontaminasi Hg menggunakan sumberdaya hayati yang mudah didapatkan dan banyak tersedia di lingkungan setempat, yaitu jamur, alga dan mikroba yang dikenal dengan bioremediasi yang berbasis mikroba ataupun fitoremediasi yang berbasis tumbuhan.
Banyak hasil riset membuktikan berbagai tumbuhan dan mikroba yang terbukti efektif menyerap merkuri.
Fitoekstraksi Hg paling tinggi yang pernah ditemukan penulis dan tim ialah sebesar 89,13 ppm Hg pada tanaman Lindernia crustacea.
Perkembangan riset fitoekstraksi Hg berhasil mendeteksi mekanisme akumulasi Hg dalam tanaman yang terjadi karena adanya ion-ion Hg (Hg2+) yang mobile, sehingga mudah ditranslokasi dan disimpan di tempat-tempat penyimpanan seperti vakuola sub seluler dan sel epidermal daun.
Telah dideteksi pula adanya transporter spesifik seperti glutathione conjugates sebagai transporter Hg yang memompa ion-ion Hg ke dalam vakuola.
Dari hasi pengujian in-situ ditemukan beberapa jenis tanaman yang berpotensi sebagai hiperakumulator Hg dengan akumulasi paling tinggi pada tanaman Commelina nudiflora dengan poteni akumulasi 114,05 mg/thn, Salvinia molesta sebesar 111,71 mg/thn, Paspalum conjugatum sebesar 107,11 mg/thn dan Monocharia vaginalis dengan poteni akumulasi 68,57 mg/thn.
Hasil-hasil riset ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di lingkungan penambangan emas secara kelompok maupun perorangan.
Baca juga: Bahaya Merkuri bagi Kesehatan dan Benda-benda yang Mengandung Merkuri
Alternatif metoda yang mengombinasikan antara adsorpsi dengan fitoremediasi atau pengambilan merkuri oleh tanaman untuk remediasi merkuri dari perairan yang terkontaminasi juga termasuk mudah dan praktis diaplikasikan.
Adsorpsi dilakukan dengan menggunakan zeolit, biochar atau bahan lainnya yang dikenal sebagai adsorben alami yang mempunyai kapasitas tinggi menangkap merkuri serta mudah didapatkan di lokasi.
Prinsipnya polutan merkuri diserap zeolit/adsorben, selanjutnya proses pengambilan sisa merkuri dilakukan oleh tanaman.
Dalam hal ini dapat digunakan tanaman air atau makrofit yang mudah didapatkan serta terbukti sebagai akumulator merkuri, seperti Salvinia molesta, Eichornia crassipes, Lemna minor, Cyperus sp, Monocharia vaginalis.
Masih banyak alternatif metoda lain yang aplikatif seperti penggunaan mikroba sebagai biofilter yang dikombinasikan dengan berbagai material, seperti material nano, metode kombinasi mikroba dan tumbuhan serta pemanfaatan mikroalga dalam konsep bioremediasi.
Konsep lahan basah buatan (Constructed wetland) merupakan salah satu metode remediasi merkuri melalui mekanisme pengikatan dan ekstraksi merkuri dari sedimen dan air (melalui proses koagulasi dan flokulasi, pertukaran ion, oksidasi dan reduksi adsorpsi), pengendapan, fitoremediasi oleh makrofit, dan metabolisme mikroba.
Konsep ini juga dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran merkuri di perairan dengan memadukan berbagai jenis tanaman air, teknologi dan bahan media, termasuk media floating (pengapung) yang tepat.
Baca juga: Gletser Greenland Meleleh Mengandung Merkuri Tinggi
Dengan berbagai upaya holistik yang telah dan akan dilakukan, diharapkan Indonesia terbebas dari merkuri di tahun 2030 dan menjadikan “merkuri bagian dari sejarah”.
D H Akhadi, S Suyanti, S Herlina, F Y Amandita, A Y Apriyana, T Suryati, R Andriyani, N A Gafur, S Zulaikha, H Ambarsari, N Hidayati
Periset Kelompok Riset Remediasi Pencemaran - BRIN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.