Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mata Garuda Banten
Perkumpulan Alumni Beasiswa LPDP di Provinsi Banten

Perkumpulan alumni dan awardee beasiswa LPDP di Provinsi Banten. Kolaborasi cerdas menuju Indonesia emas 2045.

Bioteknologi Wujudkan Pisang Tahan Salin Menghadapi Perubahan Iklim

Kompas.com - 15/06/2023, 09:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut Erfandi dan Rachman (2011), Indonesia diperkirakan memiliki total luas lahan salin sebesar 440.300 ha.

Dengan angka tersebut, Indonesia belum banyak memanfaatkan lahan tersebut untuk usaha pertanian dan diperkirakan pula lahan yang berada di dekat pantai yang rentan mengalami salinitas memiliki luas 12,020 juta ha atau 6,20 persen dari total daratan Indonesia yang hampir setara luas provinsi Kalimantan Timur (Sukarman dkk., 2018).

Pisang termasuk salah satu buah tropis yang populer dibuktikan sekitar 16 persen dari total jumlah buah dunia berasal dari pisang yang menjadikannya menjadi buah terbanyak kedua di dunia (Rahmi, 2017).

Di Indonesia, pisang adalah komoditas yang sangat populer di masyarakat. Ini sesuai dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa Indonesia mampu menghasilkan 8,74 juta ton pisang sepanjang tahun 2021 (Nurhayati dan Akhiriani, 2021).

Namun, produksinya seringkali tersendat dan penyebab salah satunya adalah salinitas tanah. Apabila kadar garam terlalu tinggi pada tanah, maka produksi pisang akan menurun drastis, bahkan menyebabkan tanaman menjadi mati (Mindari, 2009).

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya dengan memanfaatkan bioteknologi tumbuhan untuk menghasilkan pisang yang tahan terhadap cekaman salin.

Bicara mengenai bioteknologi tumbuhan, apakah ada bukti nyata aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari?

Salah satu contoh keberhasilan dalam bioteknologi tanaman adalah pengembangan tanaman hasil rekayasa genetika atau dikenal dengan tanaman genetically modified (GM) dengan sifat-sifat yang disempurnakan.

Tanaman genetically modified (GM) yang telah berhasil meningkatkan hasil atau kualitasnya, dapat kita ambil contoh dari pengembangan Kapas Bt.

Kapas Bt adalah varietas kapas hasil rekayasa genetika yang telah direkayasa dengan penyisipan dari bakteri untuk menghasilkan protein yang disebut toksin Bacillus thuringiensis (Bt). Gen-gen ini akan menyandikan untuk produksi protein insektisida.

Gen yang telah dimasukkan ke dalam kapas menghasilkan racun hama ulat (Lepidoptera). Spesies lain dari Bacillus thuringiensis memiliki gen lain yang mengkode racun dengan aktivitas insektisida pada beberapa kumbang (Coleoptera) dan lalat (Diptera) (Sanahuja et al., 2011).

Dengan memasukkan gen toksin Bt ke dalam tanaman kapas, tanaman tersebut menjadi tahan terhadap serangan ulat kapas.

Pengembangan dan adopsi kapas Bt secara luas telah menghasilkan manfaat yang signifikan, yaitu meningkatkan hasil panen, mengurangi penggunaan pestisida, meningkatkan perekonomian, dan mengurangi kerusakan lingkungan.

Hal tersebut dibuktikkan bahwa India mampu memperoleh hasil bersih meningkat sebesar 24 persen dan peningkatan laba sebesar 50 persen yang stabil dari waktu ke waktu dan bahkan meningkat.

Selain itu, pengembangan ini juga menurunkan kejadian serangan oleh ulat buah kapas mencapai 92,83 persen dan penggunaan insektisida sebesar 68,25 persen dibandingkan kapas konvensional (Shivamurthy et al., 2014).

Tidak hanya kapas Bt, beras emas atau yang dikenal dengan Golden Rice juga merupakan produk yang dimodifikasi secara genetik untuk bisa menghasilkan beta-karoten dengan menyisipkan gen dari bunga bakung/Daffodil (Narcissus pseudonarcissus) dan bakteri Erwinia uredovora (Shahbaz et al., 2020).

Beras emas ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan vitamin A yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang yang banyak mengkonsumsi beras, khususnya di Asia Tenggara dan Afrika.

Hal yang menjadi dasar adanya pengembangan produk rekayasa genetika ini adalah berdasarkan data WHO, diperkirakan 250 juta anak prasekolah kekurangan vitamin A, dan kemungkinan besar di daerah yang kekurangan vitamin A, sebagian besar wanita hamil mengalaminya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com