Di gunung berapi lain, seperti Mt. St. Helens di AS, nuées ardentes tidak berasal dari kubah lava yang runtuh, melainkan disemburkan keluar dari lubang samping gunung karena aktivitas vulkanik yang meningkat.
Pertumbuhan kubah terus berlangsung, dan posisi topografi kubah 'baru' ini menentukan apakah, di mana, dan kapan ia akan runtuh.
Meskipun nuées ardentes biasanya turun di sepanjang permukaan tanah, nuees ardentes juga mampu bergerak menanjak, melompati punggung bukit, dan menjauh dari kawah gunung berapi.
Nuèe ardente tahun 1994 di Gunung Merapi bergerak 6,5 kilometer selatan-barat daya dan mengendapkan sekitar 2,5–3 juta meter kubik material. Nuées ardentes pada tahun 2006 juga terjadi.
Pada tanggal 4 Juni 2006, sayap “Geger boyo” di Kaliadem (Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta) runtuh dan nuées ardentes terjadi hingga 14 Juni.
Alirannya bergerak menuruni lereng melalui Kali Gendol (kawasan Kaliadem), dan menghancurkan semua tumbuhan dan bangunan yang dilaluinya.
Ibarat janji untuk bertemu, Merapi dengan erupsi-erupsinya telah terpantau dan terlihat seakan-akan membuat ‘pola’. Gunung Merapi telah dilaporkan sebagai salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dengan 83 kali letusan yang tercatat.
Baca juga: Foto Kilatan Cahaya di Puncak Gunung Merapi dari Hujan Meteor, Ini Kata LAPAN
Oleh karena itu, Gunung Merapi adalah gunung berapi yang paling sering meletus di Indonesia, dengan nuées ardentes kecil dan sering terjadi di antara letusan besar yang jarang terjadi. Gunung Merapi memiliki interval letusan yang bervariasi.
Letusan kecil terjadi dengan selang waktu 2-5 tahun, letusan skala sedang terjadi setiap 7-10 tahun (MVO 2006) dan letusan eksplosif besar biasanya terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall et al. 2000). Gunung Merapi telah menjadi salah satu gunung api Indonesia yang paling banyak dipantau.
Dr. Sutomo, S.Hut., M.Sc.
Peneliti senior Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN