Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Piala Dunia, Apakah Masih Akan Ada jika Perubahan Iklim Makin Parah?

Kompas.com - 22/11/2022, 13:00 WIB
The Conversation,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Ada juga risiko acara olahraga terdampak kebakaran infrastruktur, hingga kerusakan rumput lapangan karena pembatasan pemakaian air saat musim kemarau. Lapangan-lapangan juga bisa terdampak dari musim dingin parah.

Baca juga: Dilanda Panas Ekstrem, Qatar Pasang AC di Luar Ruangan

Penelitian di Inggris pada 2013 melaporkan kehilangan penggunaan rumput alami selama 13 pekan karena curah hujan yang tinggi.

Sementara, pada masa depan, kenaikan muka air laut dan banjir bakal menjadi ancaman permanen maupun temporer bagi klub sepak bola. Karena itulah, masa depan sepak bola di dunia bakal terganggu apabila emisi gas rumah kaca terus melaju tanpa rem seperti saat ini.

Sebuah laporan berbasis pemodelan menyatakan, pada 2016, 23 stadion tim olahraga profesional terdampak banjir total maupun sebagian di setiap musim. Kejadian ini sudah terjadi di Montpellier, Perancis (2014), dan Carlisle, Inggris (2015), sehingga lapangan tidak bisa digunakan selama berbulan-bulan.

Bagi beberapa kasus, rumput sintetis mungkin bisa menjadi alternatif – dan berumur pakai lebih lama – ketika rumput alami di lapangan sudah terlampau rusak.

Sayangnya, dibandingkan rumput alami, data justru menunjukkan penggunaan rumput sintetis dapat memicu fenomena heat islands atau panas di permukaan, dengan temperatur yang lebih tinggi sekitar 12-22°C.

Angka ini berisiko menimbulkan serangan panas bagi atlet, sehingga menambah risiko kesehatan sekaligus penampilan mereka. Para wasit, pelatih, penonton, juga bakal ketiban sial serupa.

Dampak bagi kesehatan dan penampilan pemain

Polusi udara berdampak negatif bagi kuantitas dan kualitas operan, daya jelajah dan aksi intensif pesepak bola professional. Polusi yang parah bahkan bisa mengurangi jumlah gol selama pertandingan.

Terdapat bukti empiris hasil observasi sejak beberapa dekade yang menyatakan bahwa, peluang kemenangan dapat lebih tinggi ketika suatu tim menjadi tuan rumah.

Nah, di kota yang berpolusi, peluang ini semakin besar jika tim tamu berasal dari kota yang tak terlalu berpolusi. Mengapa? Karena tim tuan rumah terbiasa dengan polusi udara yang lebih tinggi, karena itulah penampilan mereka tak terlalu terdampak.

Panas dan dehidrasi juga bisa mempengaruhi penampilan atlet, sehingga berimbas ke kualitas pertandingan. Namun, analisis dari Piala Dunia 2014 di Brazil ternyata menyimpulkan sebaliknya.

Walau demikian, analisis di atas harus dicerna secara hati-hati, karena atlet elit secara umum lebih toleran terhadap panas dan dehidrasi dibandingkan individu yang tidak terlatih.

Karena itu, bagi atlet amatir, atau pemain uzur dengan kondisi kesehatan tertentu, bisa saja akan mengalami dampak kesehatan dan penampilan yang berbeda.

Baca juga: Seperti Pemain Sepak Bola, Kepiting Bakau Juga Lakukan Selebrasi

Darurat perubahan: dari reaktif menjadi proaktif

Sepak bola, dengan skalanya dan kemampuannya untuk menjangkau audiens yang lebih besar, bisa lebih berperan dalam upaya penyelamatan lingkungan. Ini juga termasuk mitigasi perubahan iklim maupun strategi adaptasinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com