Oleh: Azhoma Gumala
KONTAMINASI etilen glikol yang diduga sebagai salah satu penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal akut pada ratusan anak merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di Indonesia baru-baru ini.
Data terakhir menyatakan 195 anak meninggal diduga kuat akibat keracunan obat sirup.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut puluhan izin edar obat sirup milik tiga perusahaan farmasi: PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma. BPOM dan polisi masih menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas skandal obat beracun ini.
Sebenarnya kasus keracunan obat ini bukan pertama. Sebelumnya, pada 2015, insiden terkait obat pernah terjadi dalam kasus tertukarnya bupivacaine - obat untuk anestesi lokal - dengan asam tranexamat yang memiliki efek mencegah penggumpalan darah yang diduga akibat kesalahan prosedur saat proses produksi. Selain itu, ada juga kasus cemaran NDMA dari injeksi ranitidine yang digunakan untuk pengobatan lambung pada 2019.
Kasus-kasus itu menimbulkan pertanyaan: bagaimana mekanisme menjamin keamanan mutu suatu produk obat agar tidak meracuni pasien? Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengawasan keamanan dan kualitas obat?
Pengawasan keamanan dan mutu produk obat sudah menjadi perhatian sejak dulu.
Akan tetapi, konsep dan regulasi pengawasan keamanan dan mutu obat lahir dan berevolusi tidak lepas dari insiden terkait obat. Fungsi regulasi diperlukan agar industri farmasi dapat menjamin kualitas obat yang diproduksi.
Di Indonesia pengawasan keamanan dan mutu industri farmasi diatur dalam pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dibuat oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
CPOB merupakan suatu sistem untuk memastikan setiap produksi obat oleh industri dilakukan dengan konsisten dan diawasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga risiko – terutama yang tidak dapat dideteksi saat produk akhir diperiksa - dapat diminimalkan.
CPOB pertama kali disahkan oleh BPOM pada 2006 atau lima tahun setelah BPOM didirikan pada 2000. CPOB merupakan aturan yang mengikat seluruh industri farmasi di Indonesia. Setiap industri farmasi harus taat pada ketentuan CPOB dan BPOM harus memastikan setiap industri farmasi menaati ketentuan CPOB.
Selain standar dari CPOB, pedoman lain yang mengatur produk obat di Indonesia adalah Farmakope Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.
Farmakope Indonesia memuat identifikasi, persyaratan cemaran, hingga persyaratan kadar senyawa yang memiliki efek farmakologi. Saat ini, di Indonesia berlaku Farmakope Indonesia edisi 6 yang dikeluarkan pada 2020.
Pengawasan mutu merupakan fungsi penting yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan farmasi di Indonesia.
Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan bahwa setiap bahan yang dipasok dan digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi persyaratan kualitas dan standar mutu, memenuhi klaim pada label, dan memenuhi seluruh aspek hukum.
Baca juga: Fakta-fakta Obat Fomepizole yang Jadi Penawar Gagal Ginjal Anak