Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tingkat Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan Tinggi, Penerapan Cukai Dinilai Penting

Kompas.com - 08/06/2022, 18:03 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia menempati urutan ketiga di Asia Tenggara, sebagai negara yang paling banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Berdasarkan kajian Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), selama dua dekade terakhir peningkatan konsumsi MBDK di tengah masyarakat mencapai 15 kali lipat.

Dijelaskan Plt Manajer Riset CISDI Gita Kusnadi, di antara semua kelompok umur, mereka yang berusia 5 sampai 18 tahun paling banyak mengonsumsi jenis minuman berkarbonasi dan minuman kemasan cairan.

Baca juga: Ahli Gizi: Efek Sering Minum Minuman Manis, Kegemukan hingga Kulit Keriput

Padahal, kebiasaan ini merupakan faktor risiko penyakit tidak menular (PTM), seperti obesitas.

"Prevalensi overweight dan obesitas di Indonesia dari tahun ke tahun ternyata meningkat. Dari tahun 2007, kira-kira satu dari 10 orang Indonesia mengalami overweight obesitas hingga mencapai dua kali lipatnya," ungkap Gita dalam webinar, Selasa (7/6/2022).

Didapati pula tingginya konsumsi MBDK berisiko meningkatkan kejadian penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung serta beberapa jenis kanker.

Sehingga pihaknya menilai bahwa pembatasan konsumsi MBDK, terutama kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, dan pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik, menjadi upaya penting untuk menurunkan risiko PTM.

"Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah sepenuhnya untuk menerapkan cukai MBDK secara komprehensif di semua produk MBDK. Kami percaya penerapan cukai MBDK merupakan satu komitmen pemerintah untuk memberikan hak masyarakat akan kesehatan," terangnya.

Adapun ketetapan cukai yang direkomendasikan CISDI untuk MBDK, berdasarkan kandungan gula yakni sebesar 20 persen. Angka tersebut dianggap bisa menekan laju konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan masyarakat.

"MBDK sudah memenuhi beberapa kriteria untuk dikenakan cukai, karena konsumsinya harus dibatasi, Konsumsinya berdampak negatif pada masyarakat atau lingkungan hidup," ujar Gita.

Senada dengannya, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr Ario Kuncoro, Sp.JP(K), menyampaikan penerapan cukai pada produk MBDK adalah upaya menurunkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

Pasalnya, penyakit ini tidak hanya beban bagi pasien, tetapi juga akan meningkatkan pembiayaan negara.

"Berbicara terkait MBDK tentunya akan meningkatkan gangguan metabolisme di dalam darah yang bisa meningkatkan risiko terjadinya gangguan lain seperti diabetes, prediabetes, dan sindrom metabolik seperti obesitas," papar Ario.

"Sehingga rasanya penting sekali kita melakukan regulasi atau memberikan panduan atau imbauan untuk pengurangan dari produk-produk yang bisa meningkatkan risiko terjadinya gangguan metabolisme," lanjutnya.

Baca juga: Minuman Manis Kepung Remaja Indonesia, Saatnya Ada Cukai Gula

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com