Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/04/2022, 13:01 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pasien dengan tuberkulosis (TBC) diharuskan untuk terus mengonsumsi obat-obatan, termasuk antibiotik hingga habis selama masa pengobatan berlangsung.

Sebab, apabila obat-obatan tersebut tidak dihabiskan, justru dapat memicu tuberkulosis resisten obat atau multidrug resistant tuberculosis.

Hal itu disampaikan Ketua Yayasan Stop TB Partnership, dr Nurul H.W. Luntungan, MPH, di sela-sela pertemuan Side Event Tuberkulosis G20 Indonesia yang digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca juga: Tuberkulosis: Gejala, Pencegahan, dan Pengobatannya

Dipaparkannya, tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Sehingga pengobatannya pun memerlukan antibiotik, untuk dapat mencegah bakteri bermutasi sekaligus membunuhnya.

Penyakit ini berbeda dengan Covid-19 yang disebabkan oleh virus, di mana virus tersebut biasanya dapat hilang dalam kurun waktu 10 hingga 14 hari.

"Kalau bakteri harus diobati dengan antibiotik. Sebenarnya, untuk bakteri tuberkulosis minum obatnya panjang, enggak bisa cuma sehari dua minggu tapi harus enam bulan," kata Nurul saat ditemui Kompas.com, Rabu (30/3/2022).

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa bakteri penyebab penyakit tidak akan hilang atau mati jika pasien tidak habis minum antibiotik yang diberikan. Oleh karena itu, pasien disarankan untuk minum obat sampai tuntas, agar mencegah bakteri yang resisten terhadap obat.

"Dan kalau (antibiotik) hanya diminum setengah, bakteri yang belum mati tapi udah terpapar antibiotik bisa tambah pintar, jadi resisten. Bakteri yang resisten sama obat tidak ampuh lagi dikasih sama obat-obat antibiotik yang biasa dipakai," imbuhnya.

Saat ini, kata dr Nurul, pengobatan tuberkulosis resisten obat sudah lebih sulit karena harus ada penemuan obat baru.

Namun, obat-obatnya pun memiliki efek samping yang lebih berat dan dikhawatirkan para pasien dengan tuberkulosis resisten obat bisa menularkan kepada orang lain di sekitarnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) dr Dante Saksono Harbuwono menyampaikan hal senada.

Baca juga: Angka Kematian Kasus Tuberkulosis di Dunia Makin Meningkat Selama Pandemi, Apa Sebabnya?

 

Menurut dia angka kematian tuberkulosis saat ini meningkat, yang salah satunya disebabkan resistensi obat, ataupun terlambatnya pengobatan. Akibatnya, penanganan tuberkulosis di berbagai wilayah di Indonesia menjadi terhambat.

"Resisten obat ini juga menjadi salah satu momok karena pengobatan yang tidak selesai, kemudian membuat bakteri ini bermutasi dengan mutasi tersebut akhirnya vaksin (tuberkulosis) tidak efektif lagi," jelas Dante.

Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan protokol pengobatan yang baik agar prevalensi infeksi tuberkulosis serta kasus tuberkulosis resisten obat tidak bertambah naik.

Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di tahun 2020 jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 824.000 kasus, sementara jumlah kematiannya 93.000 kasus setiap tahunnya.

Baca juga: Belajar dari Pandemi Covid-19, Ini Langkah Negara G20 untuk Akhiri Penularan Tuberkulosis

Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus tuberkulosis terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Tiongkok.

Adapun pasien yang mulai pengobatan tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2021 adalah 5.300 orang. Sementara itu, sebanyak 5.232 pasien telah menjalani pengobatan tuberkulosis resisten obat.

Sebagai upaya untuk mencegah lebih banyak kasus tuberkulosis resisten obat, dr Nurul menyampaikan pihaknya turut memberikan insentif berupa uang kepada pasien.

Langkah ini juga diambil untuk membantu pasien agar segera sembuh, dan bisa beraktivitas kembali seperti sebelumnya.

"Biasanya orang dengan penyakit ini mereka sudah enggak produktif. Berpengaruh pada sosial dan ekonomi, dan dia harus berobatnya sampai selesai," ungkap Nurul.

Baca juga: Kemenkes Siapkan Skrining Tuberkulosis Lewat Mobile X-ray, Apa Itu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com