Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Laut Aral yang Mengering dan Menjadi Tanah Tandus

Kompas.com - 18/05/2024, 14:00 WIB
Annisa Fakhira Mulya Wahyudi,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Enam puluh tahun yang lalu, Laut Aral mulai mengering, meninggalkan tanah yang asin dan tandus.

Pembelajaran yang didapat dari sini akan membantu wilayah lain di dunia yang alami perubahan iklim.

Baca juga: Komitmen Kazakhstan Selamatkan Cekungan Laut Aral dan Dampak Besarnya

Lanskap Laut Aral

Saat ini, desa Karauzyak di bagian barat Uzbekistan adalah tempat yang berdebu. Dikelilingi oleh lanskap gersang yang dipenuhi rerumputan kering dan tanah berpasir.

Dulunya, desa ini berada di pesisir danau terbesar ke empat di dunia, yaitu Laut Aral.

Selama 50 tahun terakhir, danau tersebut, yaitu Laut Aral, telah mengering hampir seluruhnya, sehingga sering disebut sebagai “bencana lingkungan terburuk di dunia”. Saat ini, sulit untuk bertani apa pun di Karauzyak.

Mulai tahun 1960-an, para pejabat Soviet mengalihkan sungai-sungai yang mengalir ke Laut Aral untuk memproduksi kapas di ladang-ladang terdekat.

Tanpa adanya sungai yang secara teratur mengisi kembali Laut Aral danau besar tersebut mulai menguap, permukaan air menurun drastis, dan meninggalkan tanah yang semakin asin sehingga tanaman pangan tidak dapat bertumbuh, dikutip dari UN Chronicle.

Perubahan iklim menjadikan adaptasi ini semakin mendesak.

Suhu rata-rata di cekungan Aral telah meningkat sekitar 3,6 derajat Fahrenheit sejak tahun 1968. Dan menyusutnya Laut Aral sendiri telah mempengaruhi iklim.

Baca juga: Alasan Dibalik Keringnya Laut Aral

Ketika air menghilang, udara menjadi lebih kering dan kehilangan efek pendinginan dari danau di dekatnya, menciptakan putaran umpan balik yang mengakibatkan cuaca lebih panas dan kering.

Badai pasir kini menyebarkan debu dan logam berat beracun ke desa-desa terdekat, sementara surutnya air telah menyebabkan penumpukan garam di dalam tanah.

Langkah bertahan hidup

Di lahan seluas 3,5 hektar dekat desa, tim peneliti Jepang menanam tanaman yang menyukai garam ini, yang secara ilmiah dikenal sebagai halofit, untuk melihat apakah tanaman ini dapat menjadi tanaman yang layak bagi petani di wilayah tersebut dan bahkan memelihara tanaman kecil.

Kristina Toderich, pakar halofit dari Universitas Tottori di Jepang, menjelaskan mengapa tanaman yang menyukai garam ini menarik perhatian para ilmuwan seperti dia: “Tanaman ini tidak membutuhkan air. Ia tidak membutuhkan apa pun.”

Tanaman ini membantu mengunci kelembapan yang langka di tanah yang haus, dan tanaman ini dapat ditanam tanpa penggunaan pupuk yang berlebihan.

Toderich adalah salah satu peneliti utama dalam proyek kolaborasi ilmiah Jepang yang disebut SATREPS. Bekerja sama dengan layanan hidrometeorologi Uzbekistan, UZGIP, para peneliti mengumpulkan data iklim real-time dan citra satelit untuk lebih memahami kondisi di wilayah Laut Aral.

Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Keamanan Pangan di Masa Depan

Data tersebut mencangkup berapa banyak air yang tersisa, seberapa cepat air menghilang, dan jenis tanaman apa yang ditanam. di sana.

Berdasarkan hasil tersebut, tim menyusun model pertanian berkelanjutan di wilayah tersebut, merekomendasikan agar para petani mengadopsi metode irigasi baru dan menanam tanaman yang lebih toleran terhadap garam dan kekeringan, kata Kenji Tanaka, kepala proyek SATREPS.

Tujuan utama mereka adalah merevitalisasi wilayah yang telah hancur akibat pertanian intensif, dikutip dari National Geographic.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com