Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasil COP26: Mengecewakan, Kurang Ambisius, tetapi Lumayan Ada Kemajuan

Kompas.com - 14/11/2021, 19:03 WIB
Yunanto Wiji Utomo,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Lobi-lobi mereka membuat perundingan COP26 sehari lebih lama, di samping karena ada masalah-masalah lain yang belum mencapai kesepakatan.

Sabtu (12/11/2021), saat stocktaking sebelum penutupan, pihak yang keberatan mulai terlihat jelas. India dan China menyatakan keberatan dengan kata "menghapus batubara."

Menteri Lingkungan Hidup India Yadav mengungkapkan, "Negara berkembang berhak atas budget karbon yang adil dan penggunaan bahan bakar fosil yang bertanggung jawab."

"Bagaimana negara berkembang bisa menjanjikan akan menghapus batubara dan subsidi energi fosil saat masih punya agenda pembangunan dan pengentasan kemiskinan?"

Baca juga: Perhitungan COP26, Suhu Bumi Diprediksi Naik 2,4 Derajat Celsius

China mendukung usaha India, bersama dengan negara lain seperto Bolivia dan Afrika Selatan. Akibatnya, setelah tiga revisi, naskah persetujuan akhirnya berubah.

Hingga revisi ketiga, naskah persetujuan masih menyebut, "termasuk usaha mempercepat penghapusan pembangkit listrik tenaga batubara dan subsidi inefisien pada bahan bakar fosil."

Setelah revisi, naskah menjadi "panggilan kepada semua pihak untuk mempercepat pengembangan" energi bersih.

Dalam naskah tersebut, kata "menghapus batubara" diganti menjadi "memperlambat secara bertahap" batubara.

Laksmi mengatakan, meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya pada perubahan keputusan menghapus menjadi memperlambat bertahap, setidaknya itu merefleksikan pengakuan atas kondisi negara masing-masing pihak.

Frans Timmermans, delegasi Uni Eropa, dalam penary mengungkapkan kekecewaannya.

"Makin lama penghapusan batubara, makin besar beban lingkungan dan ekonominya," kata Timmermans.

"Setiap negara ada pada posisi yang kompleks terkait batubara dan energi fosil. Bukan hanya negara berkembang yang ketergantungan pada energi itu, tetapi juga negara maju."

Caroline Rance, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Friends of the Earth Scotland dalam konferensi pers Jumat mengatakan, "Inggris sendiri masih terus membiayai bahan bakar fosil, seperti proyek gas di Mozambique."

Baca juga: COP26: Afrika dapat Menyelamatkan Dunia dari Perubahan Iklim, Ini Alasannya

Kemajuan dan Kewaspadaan

Meski ada kekecewaan, banyak pihak mengapresiasi sejumlah kemajuan yang ada di COP26, di antaranya pembaruan pada Persetujuan Paris terkait Target Kontribusi Nasional (NDC) penurunan emisi dan pasar karbon.

"Pasal 6 Persetujuan Paris akhirnya diadopsi. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rule Book mendekati lengkap," kata Laksmi.

Persetujuan pada Pasal 6, berarti kini negara punya mekanisme yang lebih jelas tentang pasar karbon untuk transfer penurunan emisi.

Indonesia memandang hal ini akan mendukung upaya Indonesia menerapkan instrumen Nilai Ekonomi Karbon yang diatur dalam Perpres 98/2021.

Meski memuaskan bagi banyak delegasi, keputusan pada Pasal 6 (kerap juga disebut Article 6) membuat banyak pihak waspada.

Perwakilan masyarakat adat dari Uruguay mengungkapkan, Eriel Tchekwie Daranger dari Indigenous Climate Action mengungkapkan, mekanisme pasar karbo harus dijalankan dengan kewaspadaan dan persetujuan warga lokal.

Ia mengungkapkan, banyak karbon yang ada masuk ke "pasar" berasal dari wilayah tempat tinggal masyarakat ada. Untuk itu, mekanisme tersebut harus mendapatkan Free Prior Informed Consent (FPIC).

Tanpa FPIC, pasar karbon sebenarnya adalah bentuk "komersialisasi, kapitalisasi, dan tak ubahnya kolonialisme masa lalu."

Perkembangan positif ada pada permintaan pada semua negara untuk memperbarui target NDC dan membuatnya lebih ambisius tahun depan sesuai dengan target pencegahan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.

Setiap negara juga didorong untuk memperbarui NDC setiap 5 tahun. Kata "didorong" adalah hasil perundingan dan dinilai tidak serius atau bukan keharusan.

Sejumlah kemajuan lain dalam COP26 adalah soal mulai didiskusikannya kehilangan dan kerusakan akibat iklim dan komitmen negara maju untuk membantu negara berkembang dan rentan krisis iklim.

Meski demikian, kemajuan itu perlu diawasi. Laksmi mengatakan, pendanaan pada negara berkembang perlu jangka panjang dan riil. Hal itu perlu dibuktikan.

Baca juga: Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri Deforestasi Tahun 2030 di COP26

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com