Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasil COP26: Mengecewakan, Kurang Ambisius, tetapi Lumayan Ada Kemajuan

Kompas.com - 14/11/2021, 19:03 WIB
Yunanto Wiji Utomo,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ternyata tidak mudah menghapuskan pemakaian batubara sebagai sumber energi dan berambisi setinggi-tingginya untuk mengatasi krisis iklim. Namun, bukan berarti manusia tidak bisa memulai perubahan.

Hasil COP26, pertemuan para pihak untuk membahas upaya menangani perubahan iklim, membuat banyak kalangan kecewa, tetapi pada saat yang sama diapresiasi.

"Ada perubahan, walaupun tidak cukup," kata David Waskow, Direktur Inisiatif Iklim Internasional World Resources Intitute (WRI) dalam diskusi dengan media di Glasgow usai keputusan COP 26 berakhir Sabtu (13/11/2021).

Baca juga: Pidato Jokowi di COP26, Realisasinya Butuh Kebijakan Pembangunan yang Konsisten

Pimpinan delegasi Indonesia Laksmi Dhewanti usai penutupan acara di Scottish Event Campus, Glasgow, mengungkapkan bahwa Indonesia akan mengadopsi paket persetujuan COP26 yang dinamai Glasgow Climate Pact.

"Meskipun hasilnya tidak sesempurna yang diharapkan, namun yang penting semua negara nanti mau bersama untuk mengimplementasikan," ungkapnya.

Drama yang Memicu Kekecewaan

Perundingan COP26 berlangsung selama dua minggu sejak Senin (1/11/2021). Proses yang diikuti hampir 200 negara itu menghasilkan tiga naskah penting.

Ketiganya adalah naskah umum COP26, hasil pembaruan dari Protokol Kyoto 1997 (CMP16), dan pembaruan dari Persetujuan Paris 2015 (CMA3).

Naskah versi pertama yang dirilis pada Rabu (9/11/2021) memberi harapan besar pada berakhirnya ketergantungan pada batubara. Dalam naskah itu, negara-negara diminta "menghapus energi fosil", khususnya batubara.

Harapan meningkat ketika Amerika Serikat, Norwegia, Swedia dan sejumlah negara maju lain membentuk Beyond Oil and Gas Alliance (BOGA). Itu menandai niat untuk tidak hanya menghapus batu bara, tetapi juga minyak dan gas.

Namun pada Jumat (12/11/2021), Catherine Abrou dari Destination Zero di Media Center COP26 mengatakan, "ada tangan-tangan yang berusaha melemahkan usaha menghapus batubara."

Mereka menggunakan istilah-istilah rumit seperti "unabated" (tidak memiliki alat penurun emisi) dan inefficient subsidies pada batubara.

Baca juga: Minggu Kedua COP26, Indonesia Pastikan Janji-janji Pendanaan Iklim

Ilustrasi batubara.Shutterstock/Vladyslav Trenikhin Ilustrasi batubara.
Lobi-lobi mereka membuat perundingan COP26 sehari lebih lama, di samping karena ada masalah-masalah lain yang belum mencapai kesepakatan.

Sabtu (12/11/2021), saat stocktaking sebelum penutupan, pihak yang keberatan mulai terlihat jelas. India dan China menyatakan keberatan dengan kata "menghapus batubara."

Menteri Lingkungan Hidup India Yadav mengungkapkan, "Negara berkembang berhak atas budget karbon yang adil dan penggunaan bahan bakar fosil yang bertanggung jawab."

"Bagaimana negara berkembang bisa menjanjikan akan menghapus batubara dan subsidi energi fosil saat masih punya agenda pembangunan dan pengentasan kemiskinan?"

Baca juga: Perhitungan COP26, Suhu Bumi Diprediksi Naik 2,4 Derajat Celsius

China mendukung usaha India, bersama dengan negara lain seperto Bolivia dan Afrika Selatan. Akibatnya, setelah tiga revisi, naskah persetujuan akhirnya berubah.

Hingga revisi ketiga, naskah persetujuan masih menyebut, "termasuk usaha mempercepat penghapusan pembangkit listrik tenaga batubara dan subsidi inefisien pada bahan bakar fosil."

Setelah revisi, naskah menjadi "panggilan kepada semua pihak untuk mempercepat pengembangan" energi bersih.

Dalam naskah tersebut, kata "menghapus batubara" diganti menjadi "memperlambat secara bertahap" batubara.

Laksmi mengatakan, meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya pada perubahan keputusan menghapus menjadi memperlambat bertahap, setidaknya itu merefleksikan pengakuan atas kondisi negara masing-masing pihak.

Frans Timmermans, delegasi Uni Eropa, dalam penary mengungkapkan kekecewaannya.

"Makin lama penghapusan batubara, makin besar beban lingkungan dan ekonominya," kata Timmermans.

"Setiap negara ada pada posisi yang kompleks terkait batubara dan energi fosil. Bukan hanya negara berkembang yang ketergantungan pada energi itu, tetapi juga negara maju."

Caroline Rance, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Friends of the Earth Scotland dalam konferensi pers Jumat mengatakan, "Inggris sendiri masih terus membiayai bahan bakar fosil, seperti proyek gas di Mozambique."

Baca juga: COP26: Afrika dapat Menyelamatkan Dunia dari Perubahan Iklim, Ini Alasannya

Kemajuan dan Kewaspadaan

Meski ada kekecewaan, banyak pihak mengapresiasi sejumlah kemajuan yang ada di COP26, di antaranya pembaruan pada Persetujuan Paris terkait Target Kontribusi Nasional (NDC) penurunan emisi dan pasar karbon.

"Pasal 6 Persetujuan Paris akhirnya diadopsi. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rule Book mendekati lengkap," kata Laksmi.

Persetujuan pada Pasal 6, berarti kini negara punya mekanisme yang lebih jelas tentang pasar karbon untuk transfer penurunan emisi.

Indonesia memandang hal ini akan mendukung upaya Indonesia menerapkan instrumen Nilai Ekonomi Karbon yang diatur dalam Perpres 98/2021.

Meski memuaskan bagi banyak delegasi, keputusan pada Pasal 6 (kerap juga disebut Article 6) membuat banyak pihak waspada.

Perwakilan masyarakat adat dari Uruguay mengungkapkan, Eriel Tchekwie Daranger dari Indigenous Climate Action mengungkapkan, mekanisme pasar karbo harus dijalankan dengan kewaspadaan dan persetujuan warga lokal.

Ia mengungkapkan, banyak karbon yang ada masuk ke "pasar" berasal dari wilayah tempat tinggal masyarakat ada. Untuk itu, mekanisme tersebut harus mendapatkan Free Prior Informed Consent (FPIC).

Tanpa FPIC, pasar karbon sebenarnya adalah bentuk "komersialisasi, kapitalisasi, dan tak ubahnya kolonialisme masa lalu."

Perkembangan positif ada pada permintaan pada semua negara untuk memperbarui target NDC dan membuatnya lebih ambisius tahun depan sesuai dengan target pencegahan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.

Setiap negara juga didorong untuk memperbarui NDC setiap 5 tahun. Kata "didorong" adalah hasil perundingan dan dinilai tidak serius atau bukan keharusan.

Sejumlah kemajuan lain dalam COP26 adalah soal mulai didiskusikannya kehilangan dan kerusakan akibat iklim dan komitmen negara maju untuk membantu negara berkembang dan rentan krisis iklim.

Meski demikian, kemajuan itu perlu diawasi. Laksmi mengatakan, pendanaan pada negara berkembang perlu jangka panjang dan riil. Hal itu perlu dibuktikan.

Baca juga: Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri Deforestasi Tahun 2030 di COP26

 

Ilustrasi perubahan iklimShutterstock Ilustrasi perubahan iklim

COP27

Sejumlah masalah masih tersisa untuk dirundingkan pada COP27 yang rencananya akan diadakan di Mesir. Salah satu hal yang belum mencapai kesepakatan adalah Kerangka Pelaporan (CTF) NDC.

"Padahal CTF of NDC ini adalah kerangka penting dari Paris Rule Book," ungkap Laksmi kepada Kompas.com usai penutupan COP26.

"Review long term goal dan upaya pencapaiannya juga tidak mencapai kesepakatan dan akan dilanjutkan di Structure Expert Dialogue bulan Juni 2022," imbuhnya.

Helen Mountford dari WRI mengungkapkan, meski tidak memuaskan, ada kemajuan dalam pembicaraan tentang iklim di COP26. Paling tidak, negara maju mulai membicarakan dana adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan.

Terkait perubahan "phase out" menjadi "phase down", ia mengungkapkan bahwa hal itu mengecewakan. "Tapi sebenarnya batubara memang sudah mati."

Dunia mau tidak mau beralih ke energi terbarukan. Harga energi terbarukan, misalnya energi surya, makin terjangkau dan pelan-pelan dunia akan beralih ke sana.

Baca juga: COP26, Secercah Harapan di Babak Akhir Perundingan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com