Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

COP26, Secercah Harapan di Babak Akhir Perundingan

Kompas.com - 11/11/2021, 19:52 WIB
Yunanto Wiji Utomo,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

GLAGOW, KOMPAS.com - Dua naskah penting menyangkut deal untuk mengatasi masalah perubahan iklim keluar pada Rabu (10/11/2021) sekitar pukul 6 pagi GMT.

Dua draft yang disebut CP26 (merujuk pada naskah umum terkait perundingan COP26) dan CMA3 (terkait implementasi Persetujuan Paris pada 2015) akan jadi dasar tiap negara untuk berunding soal cara mengatasi krisis iklim.

Bagi publik di Indonesia, naskah itu akan menentukan apakah Monas akan menjadi pantai dan Indonesia kehilangan ratusan pulau karena naiknya permukaan laut puluhan tahun mendatang.

Jika naskah yang menurut jadwal harus disetujui pada Jumat (12/11/2021) itu tidak mencerminkan ambisi tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka yang publik Indonesia khawatirkan kemungkinan besar terjadi.

Baca juga: Dua Produsen Emisi Karbon Terbesar, AS dan China, Bersatu Atasi Krisis Iklim

Harapan

Pengamat iklim, lingkungan dan negosiator mengungkapkan bahwa dua naskah yang keluar kemarin memberi sejumlah harapan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Iskhaq Iskandar, Guru Besar Universitas Sriwijaya mengungkapkan, harapan terlihat dari teks soal ambisi lebih tinggi untuk mengurangi emisi.

"Ada komitmen kerjasama internasional lebih kuat untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius hingga 2100," katanya.

Iskhaq yang juga Penulis Utama Laporan 6 (AR6) Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) Kelompok Kerja I menambahkan, itu senada dengan rekomendasi ilmuwan di Kelompok Kerja 1.

Harapan lain adalah adanya desakan pada negara maju untuk menghimpun dana melampaui 100 juta dolar AS bagi negara berkembang guna kepentingan mitigasi dan adaptasi.

Baca juga: Minggu Kedua COP26, Indonesia Pastikan Janji-janji Pendanaan Iklim

"Ini adalah sesuatu yang melegakan bagi negara berkembang," kata David Waskow, International Climate Director dari World Resources Institute dalam diskusi dengan media peliput COP26 kemarin.

Negara maju sebelumnya diminta berkontribusi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim negara berkembang dengan total dana 100 juta dolar hingga 2020. Target itu gagal dipenuhi negara maju sehingga memicu kekecewaan.

"Poin pendanaan itu adalah peluang yang sangat bagus bagi Indonesia untuk menyiapkan kerangka kerja adaptasi dan mitigasi iklim yang terukur dengan baik," papar Iskhaq.

Naskah juga mendorong setiap negara untuk mengembangkan solusi berbasis alam dan kearifan lokal untuk memenuhi target pengurangan emisi.

"Saya meyakini bangsa kita yang sangat beragam memiliki kearifan lokal yang dapat kita gali da kembangkan untuk mitigasi dan adaptasi," katanya.

Baca juga: Perhitungan COP26, Suhu Bumi Diprediksi Naik 2,4 Derajat Celsius

Waskow mengungkapkan, salah satu perkembangan baik lainnya adalah perlunya tiap negara punya target kontribusi pengurangan emisi (NDC) yang lebih ambisius.

Naskah menyebut perlunya mencegah kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius, target paling ambisius sesuai Persetujuan Paris pada 2015.

Setiap negara diminta untuk memperbarui Target Kontribusi Nasional (NDC) penurunan gas rumah kacanya pada 2022 agar target emisi pada tahun 2030 sebesar 45 persen tercapai.

Menurut kajian Climate Action Tracker, Bumi menuju kenaikan 2,4 derajat pada 2100 Celsius bahkan jika negara-negara setuju dengan target ambisius tersebut. Jadi, target ambisius itu sebenarnya adalah target minimal.

Kabar gembira lain adalah eksplisitnya kata "penghapusan bahan bakar fosil." Sebesar 65 persen emisi karbon berasal dari bahan bakar fosil.

Jika naskah tersebut lolos negosiasi, konsekuensinya Indonesia harus melangkah lebih cepat menuju energi terbarukan.

Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan

Keterbatasan

Meski memberi sedikit harapan, naskah yang disusun oleh presidensi COP26 yang dipimpin Alok Sharma itu punya keterbatasan.

Terkait target pencegahan kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat Celsius misalnya, menurut Waskow, “belum jelas dan benderang apakah itu yang memang semua pihak ingin capai.”

Yuyun Harmono, pengampanye keadlian iklim dari Walhi mengatakan, bab bahan bakar fosil juga masih punya celah.

Naskah menyebut dunia perlu meninggalkan pembangkit listrik batubara (PLTU). Namun, yang didorong berhenti hanya yang tidak punya teknologi pengurang emisi, misalnya Carbon Capture Storage (CCS).

“Komitmen G20 sebelum COP26, mereka sepakat untuk menghentikan pembiayaan ke PLTU batubara jika PLTU itu tidak pakai CCS. Kalau pakai, masih dibayai,” katanya.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Service Reform (IESR) menambahkan, kelemahan naskah terkait soal energi adalah tak adanya waktu tepat harus meninggalkan batubara.

“Padahal ini penting karena pada 2030 kita harus memangkas emisi 50 persen disbanding pada 2010,” jelasnya.

Baca juga: Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri Deforestasi Tahun 2030 di COP26

Dalam naskah, energi fosil yang yang disebut juga hanya batu bara. Gas yang kerap disebut sebagai “batu bara” baru dan kerap diklaim lebih hijau tak disebut.

Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Research (CIFOR) mengungkapkan, “sisi pembiayaan masih belum mengembirakan karena pembiayaan tidak spesifik dan jangka pendek.”

Masih dalam perundingan

Dua hari ini akan menjadi babak paling menegangkan dalam COP26. Kabar gembira dalam naskah yang keluar kemarin perlu disambut, tetapi itu bisa lenyap.

Waskow mengungkapkan, dorongan untuk meninggalkan bahan bakar fosil sangat mungkin bisa ditentang oleh negara yang ekonominya tergantung pada penjualan jenis energi itu.

“Arab Saudi dan rusia sangat jelas menentangnya, yang lain kurang blak-blakan,” katanya.

Kamis (11/11/2021), dorongan kompromi dengan tujuan mengakhiri era energi fosil makin menguat.

Isu lain yang mengemuka hari ini adalah keberatan dari negara maju untuk menyelenggarakan pembiayaan jangka panjang, serta kerugian dan kerusakan (loss and damage).

Baca juga: Pidato Jokowi di COP26, Realisasinya Butuh Kebijakan Pembangunan yang Konsisten

Pembiayaan kerugian dan kerusakan digagas di COP25 di Santiago. Dasarnya, negara berkembang rusak karena kegiatan negara maju masa lalu dan bisa jadi sekarang tak mampu beradaptasi. Maka, negara maju harus membiayainya.

Laksmi Dewanti, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, sejumlah kepentingan Indonesia sudah terwadahi, misalnya soal Artikel 6 dalam Kesepakatan Paris yang menyangkut transfer emisi secara sukarela maupun perdagangan.

“Sekarang sudah lebih banyak menemukan persamaan. Kita sendiri sudah tahu apa yang kita inginkan karena sudah punya Perpres tentang nilai ekonomi karbon. Tapi masih bisa berubah saat negosiasi,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com