Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjualan Bebas dan Konsumsi Antibiotik Berlebihan Tingkatkan Risiko Resistensi Antimikroba

Kompas.com - 05/11/2021, 19:30 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Dampak resistensi antimikroba

"Dampaknya, infeksi-infeksi berat ada di mana saja. Biasanya ada infeksi di aliran darah, di paru-paru, saluran kemih, dan luka operasi," lanjutnya.

Menurut dia, resistensi antimikroba sangat merugikan upaya medis dalam menolong pasien, hingga penanganan yang menjadi lebih sulit dan lama. Beberapa dampak dari resistensi antimikroba pada pasien di antaranya:

  • Komplikasi penyakit yang kompleks.
  • Kegagalan terapi.
  • Peningkatan morbiditas dan mortalitas.
  • Lamanya masa rawat pasien.
  • Meningkatkan biaya perawatan yang membebani keluarga pasien.

"Sebagian besar infeksi dari AMR ini kompleks, apalagi kalau mereka (pasien) memiliki komorbid misalkan diabetes, lupus, HIV, dan sebagainya akan menjadi sulit untuk penyembuhannya," ungkap dr Harry. 

Baca juga: Jangan Sembarang Minum Antibiotik, Ketahui Efek Sampingnya

Pada kesempatan yang sama, Prof dr Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada mengatakan, resistensi antimikroba diprediksi menyebabkan mortalitas atau kematian sebanyak 10 juta kasus per tahun pada 2050 mendatang.

"Memang akhirnya yang menjadi poin paling besar adalah Afrika dan Asia termasuk kita, nah itu makanya menjadi persoalan besar," katanya.

Dia mengatakan, di Indonesia, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit dan sangat mudah dibeli di berbagai toko obat maupun apotek.

Obat-obatan ini pun kerap dijual tanpa resep. Maka dari itu, banyak pasien yang menganggap bahwa pengobatan lebih mudah dan hemat biaya.

Akibatnya, permintaan antibiotik melonjak, sehingga penggunaan yang tidak tepat ini dapat memicu berkembangnya resistensi antimikroba di Indonesia.

Perkembangan resistensi antimikroba di Indonesia

Berdasarkan penelitian AMRIN Study pada tahun 2005 menemukan, misuse (penyalahgunaan) dan overuse (penggunaan berlebih) antibiotik mencapai angka 55 sampai 76 persen.

Sedangkan menurut laporan KPRA Kemenkes RI tahun 2016 dan 2019, pada 2016 lalu penyalahgunaan maupun penggunaan antibiotik berlebihan mencapai 70 sampai 80 persen.

Artinya, penggunaan antibiotik yang benar hanya mencapai sekitar 20 persen.

"Ini menjadi tantangan. Apa akibatnya? Dengan teori selective pressure dan sebagainya, maka paparan antibiotik mengubah bakteri menjadi resisten," jelas Harry.

Ia menyebut, Indonesia menjadi sumber Crabapenem Resistant Acinetobacter (CRE) di mana prevalensinya tertinggi di antara negara lain. Resisten bakteri ini adalah jenis bakteri yang sudah tidak bisa dimatikan oleh golongan bakteri carbepenem.

Sementara itu, bakteri carbepenem berfungsi sebagai antibiotik bagi infeksi. 

Harry memaparkan, lingkar masalah resistensi antimikroba di Indonesia terbagi di beberapa kelompok masyarakat, antara lain terjadi pada peternak hewan, penyedia obat-obatan seperti apotek, layanan primer rumah sakit dan puskesmas, hingga tenaga medis.

"Dokter, bidan, perawat meskipun sudah ada aturan yang melarang mereka meresepkan antibiotik, tetapi pada prakteknya masih ada layanan dengan antibiotiknya. Bidan-bidan juga melakukan pertolongan persalinan yang hampir semuanya memberikan antibiotik. Padahal guideline kita, persalinan normal tidak perlu menggunakan antibiotik," pungkasnya.

 Baca juga: Antibiotik Bukan untuk Semua Penyakit, apalagi Batuk Pilek dan Diare

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com