Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Penurunan Muka Tanah di Indonesia, Apa Pembuatan Tanggul Cukup?

Kompas.com - 17/09/2021, 19:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) terjadi di 112 kabupaten/kota di pesisir Indonesia, yang terparah adalah di Pekalongan, Jawa Tengah.

Fakta ini disampaikan oleh Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas.

"Penurunan tanah di Indonesia terjadi di 112 kabupaten Kabupaten dan Kota pesisir di Indonesia. Itu berdasarkan hasil riset kita ya," kata Heri kepada Kompas.com, Jumat (17/9/2021).

"Mungkin bisa lebih banyak dari itu, tapi sampai saat ini temuan kita 112 kabupaten/kota pesisir," imbuhnya.

Baca juga: 112 Kabupaten dan Kota Pesisir Indonesia Alami Penurunan Muka Tanah, yang Terparah Pekalongan

Dia mengatakan, ada beberapa daerah seperti Bandung yang sebenarnya permukaan tanahnya juga turun. Namun karena letaknya yang bukan di pesisir, kota tersebut tidak dimasukkan ke dalam daftar tersebut.

Kabupaten atau kota pesisir yang dimaksud Heri dalam studinya berada di pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian pesisir Sulawesi, dan sebagian pesisir Papua.

Nah, penurunan muka tanah di 112 kabupaten dan kota pesisir ini bervariasi kedalamannya, mulai dari 1-20 sentimeter per tahun.

"Hingga saat ini, yang penurunan muka tanahnya paling tajam atau paling cepat lajunya ada di Pekalongan, Semarang, dan Demak. Baru kemudian Jakarta," ungkap Heri.

Dalam hasil studinya, penurunan muka tanah di Pekalongan ada yang 15 sentimeter per tahun dan beberapa spot bahkan mencapai 20 sentimeter per tahun.

Sementara di Jakarta, beberapa tahun lalu memang wilayah Muara Baru, Jakarta Utara dan Pantai Mutiara, Pluit memang pernah mengalami penurunan muka tanah hingga 20 sentimeter per tahun.

Namun saat ini, trennya cenderung lebih lambat, hanya 10 sentimeter per tahun.

Solusi Penurunan Muka Tanah

Penurunan muka tanah tidak hanya berpotensi menenggelamkan suatu wilayah, tapi juga merusak struktur bangunan, banjir rob, hingga cakupan wilayah banjir yang meluas.

 

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut?

Seperti diberitakan sebelumnya, Heri berkata bahwa penurunan muka tanah disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia.

Faktor alam antara lain seperti jenis tanah yang lunak dan efek gempa tektonik.

Sementara faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia (antropogenik) antara lain karena pembebanan infrastruktur urugan (bangunan) dan dampak eksploitasi air tanah.

Kepada Kompas.com Heri mengatakan, hal yang bisa dilakukan oleh manusia adalah memperbaiki dari faktor manusianya.

"Karena kalau faktor alamiah, kita tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa kita handle," ungkap Heri.

Sementara faktor penyebab dari aktivitas manusia seperti pembebanan urugan dan eksploitasi air tanah, itu yang bisa kita lakukan.

"Kalau kita kurangi eksploitasi air tanah, atau bahkan kita bisa menghentikan eksploitasi air tanah, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa laju penurunan muka tanahnya berkurang bahkan berhenti," ucapnya.

Heri mengatakan bahwa saat ini sejumlah daerah sudah membuat program untuk menghentikan eksploitasi air tanah.

"Namun kita juga perlu realistis, di banyak kota besar di Indonesia, kalau kita menghentikan eksploitasi air tanah, kita masih kekurangan supply," paparnya.

"Nah, jadi tidak realistis jika ujug-ujug kita menghentikan eksploitasi air tanah. Yang paling realistis adalah segera cari sumber air yang nantinya dapat menggantikan eksploitasi air tanah."

"Sekarang sepertinya pemerintah sedang mencari sumber air itu, kita doakan saja," pungkasnya.

Bagaimana dengan pembuatan tanggul?

Untuk pembuatan tanggul, Heri mengatakan, ini hanya solusi sementara.

Pasalnya, selama eksploitasi tanah tetap dilakukan, tanggul juga akan turun bersama dengan permukaan tanah di sekitarnya.

"Sebagai contoh di DKI Jakarta, setiap 10 tahun sekali tanggulnya akan kelimpahan air laut lagi," kata Heri.

Sementara Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rokhis Khomarudin mengatakan, untuk mengantisipasi permasalahan penurunan muka tanah tersebut perlu dilakukan upaya-upaya adaptif dan strategik dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

"Upaya-upaya yang perlu dilakukan baik konstruksi maupun non-konstruksi, yang semuanya diarahkan kepada terwujudnya pemanfaatan lahan yang harmonis, manusia-lingkungan, sesuai dengan kodrat alami wilayah pesisir Pekalongan," kata Rokhis.

Baca juga: Muka Tanah Pekalongan Turun Hingga 20 Cm Per Tahun, Ini Penyebab dan Dampaknya

1. Upaya jangka pendek-menengah

Sepakat dengan Heri, program pembangunan fisik-konstruksi seperti pembangunan tanggul, polder, dan konstruksi lainnya merupakan solusi sementara.

"Program ini dilakukan sebagai solusi jangka pendek-menengah, harus memperhatikan efektivitas dan efisiensinya serta imbas/dampak yang ditimbulkannya sebagai antisipasi terhadap munculnya permasalahan-permasalahan baru," kata Rokhis.

2. Upaya jangka panjang

Sementara program pembangunan non-konstruksi (berwawasan lingkungan) dilakukan sebagai solusi jangka panjang dengan tetap memperhatikan kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat.

Rokhis mengatakan, salah satu program pembanguan non-konstruksi yang perlu diupayakan adalah program konservasi wilayah pesisir, yakni pemulihan ke kondisi alami wilayah pesisir dengan merekonstruksi dan merevitalisasi “barriers” alami atau beting-beting gisik serta penanaman mangrove, yang bisa dilakukan secara bertahap dimulai dari sekarang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com